Lihat ke Halaman Asli

Satu Kali Dua Meter

Diperbarui: 25 Juni 2015   06:25

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13348531341530471596

[caption id="attachment_182984" align="aligncenter" width="576" caption="Ilustrasi/Admin (Dok.Kompasiana)"][/caption]

Dada Lastri kembang kempis dipenuhi rasa girang bukan kepalang. Matanya berbinar-binar memandangi parit di dekat rumahnya yang selama ini menganga dan berbau busuk itu, kini bagian atasnya telah tertutup dak beton.

Lastri berlari menyusuri gang-gang becek, hujan deras habis mengguyur kampungnya dan seluruh kota. Hampir saja ia menabrak anak tetangganya yang sedang belajar naik sepeda. "Wooo, jelalatan kayak setan!" pekik bapak si anak. Di kampung pinggir sungai itu orang terbiasa memaki, tak ada yang peduli. Penghuninya sebagian besar pendatang dari desa atau kota lain yang menganggur, bekerja serabutan jadi buruh bangunan, pedagang asongan, penjaja makanan keliling, pelacur, hingga pencopet. Yang terakhir itu pun diakui sebagai sebuah profesi, selain membutuhkan ketrampilan, kegiatan hina itu juga mampu menghidupi. Kampung itu juga menjadi salah satu langganan tetap penggerebekan polisi. Sungai yang melintas di pinggir kampung itu terbelah menjadi dua, lalu kembali bertemu di ujung selatan kampung. Anak sungainya yang kecil selebar sekitar dua meter, serupa parit, masuk meliuk ke dalam kampung. Orang-orang menyebutnya Kali Bathang gara-gara limbah rumah tangga yang disalurkan ke parit itu menimbulkan bau menyengat seperti bangkai. Anak-anak kecil dan laki-laki dewasa sering buang hajat besar, langsung berjongkok di tebingnya. Di sepanjang Kali Bathang ada jalan kecil yang selalu dipadati pengendara motor; mereka bisa menghemat waktu sampai 10 menit menuju jalan utama lingkar selatan. Tiga bulan lalu kampung itu mendapat dana bantuan yang disalurkan ke kampung-kampung oleh pemerintah kota. Sebagian warga yang sering membaca koran di halaman kantor kelurahan tahu dana itu tidak tepat disebut bantuan. Menurut berita, hutang luar negeri itu angsurannya dibebankan itung gundul pada semua rakyat. Tak peduli kaya atau melarat.

"Dananya untuk nutup Kali Bathang saja, Pak RT!" Warga yang rumahnya berada di sekitar parit melontarkan usulan. Beberapa kali rapat warga harus dijalani sebelum diputuskan Kali Bathang ditutup dengan pasangan beton.

Selain bau bacin hilang, di atas parit itu kini terbentang ruang kosong selebar dua meter, memanjang sekitar 200 meter hingga ke ujung kampung.

Lastri ingin memanfaatkan sebagian ruang yang dianggap tak bertuan itu.

**

"Kita bisa jualan, Kang! Kita jadi bikin kios, Kang!" Setengah menjerit Lastri menubruk tubuh suaminya yang tergolek di lantai beralaskan kasur tipis usang. Wajahnya berbinar-binar memandangi mata suaminya yang terpejam sembari bibirnya menggumamkan doa. Di kampung yang seakan tak tersentuh tangan Tuhan itu Lastri sekeluarga masih percaya pada doa.

Tiga tahun lalu suami Lastri, Diman, jatuh dari atap bangunan lantai tiga. Buruh bangunan itu lumpuh total. Sejak itu, perempuan buruh cuci itu menjadi tulang punggung keluarga. Ia memilih berteman dengan kesusahan hidup. Setiap kali mencoba melawan ia terkalahkan. Memiliki kios menjadi angan-angan yang dipendamnya sejak lama. Ia ingin berjualan bensin, rokok, majalah dan pulsa. Namun Lastri tidak punya koneksi untuk mengkapling kakilima yang terdekat dari kampungnya. Hidup di kota semakin keras saja. Berdagang di kakilima memerlukan koneksi untuk menyewa atau membeli kapling satu kali dua meter.

Kini tak jauh dari rumahnya ada ruang gilar-gilar tanpa ada pemiliknya. Angan-angan Lastri untuk memiliki kios segera menjadi nyata. Darto, anak sulungnya yang harus berhenti sekolah selepas SMP berharap bisa menjaga kios itu dari pagi sampai siang. Sore hingga malam Lastri bisa menggantikan anaknya. Punya kios sendiri pasti untungnya lebih besar, pikir Lastri.

"Darto suruh pulang ke gunung saja," pinta emak Lastri, setahun lalu. Ia berharap cucunya akan kuat berladang, menanam singkong, jagung, kacang dan apa saja yang bisa tumbuh di ladang, di atas gunung yang menjadi gantungan hidupnya. Darto menolak. Pikirnya untuk apa bekerja di ladang. Tampaknya saja segunduk gunung, tapi hasilnya tak seberapa dibandingkan satu kali dua meter tanah di pinggir jalan di kota. Dengan kios ukuran satu kali dua meter Darto yakin bisa mengantungi paling tidak 25.000 rupiah tiap hari. Berlipat kali lebih banyak daripada berbulan-bulan menanam dan memanen singkong di gunung tandus milik embahnya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline