Hidup berdampingan dengan rumah kontrakan memberi warna tersendiri dalam hidup saya. Walaupun tidak terlalu sering, namun tetap saja menjadi sebuah kepastian bagi saya untuk selalu bersiap beradaptasi dengan tetangga baru.
Tentu saja ini memperkaya pemahaman saya tentang bagaimana beragamnya sikap seseorang yang walaupun tidak semua, namun seringkali terjadi bahwa bagaimana mereka bersikap itulah rasa yang ada di dalam diri mereka. Latar belakang keluarga, lingkungan kerja, pendidikan, seringkali mewarnai sikap yang orang-orang tunjukkan.
Saya teringat awal mula saya mencermati perilaku seseorang adalah saat saya menikah dan kemudian tinggal di rumah saya sendiri yang berdampingan dengan rumah kontrakan.
Pada awal saya tinggal, rumah kontrakan itu menjadi kantor sekaligus rumah tinggal bagi sebuah koperasi swasta atau yang oleh masyarakat sekitar disebut sebagai bank harian.
Di koperasi tersebut terdapat tujuh penghuni yang terdiri dari sepasang suami istri yang sekaligus sebagai pemilik dan bendahara, empat orang laki-laki yang bertugas sebagai staff marketing sekaligus penagih cicilan terhadap para nasabah, dan seorang perempuan tenaga kebersihan sekaligus juru masak.
Pada hari-hari biasa, kondisi rumah kontrakan dengan banyak penghuni tersebut sebetulnya biasa saja. Di pagi hari rumah tersebut beroperasi sebagai kantor yang menjadi tempat tujuan para nasabah yang berkepentingan langsung dengan pimpinan.
Suasana menjadi lebih rame di sore hari saat staff marketing pulang. Tawa membahana khas anak muda menyelingi kegiatan mereka. Kegaduhan suasana akan terus berlanjut hingga pukul 22.00 WIB saat tiba waktunya mereka akan beristirahat.
Kondisi yang berbeda terjadi saat malam minggu tiba. Anak-anak muda para pegawai koperasi akan begadang sampai menjelang pagi. Entah apa yang mereka lakukan, namun tawa membahana itu terus saya terdengar sahut menyahut. Keesokan paginya, dapat dipastikan botol-botol minuman keras bertebaran di halaman rumah. Kondisi ini berlangsung sekitar tiga tahun sampai saatnya mereka harus pindah karena habis masa kontrakan dan tidak diperpanjang.
Suasana sepi dan kondisi rumah yang gelap di malam hari setelah keluarga besar koperasi tersebut pindah berlangsung sekitar dua bulan saja. Selanjutnya, anak pemilik kontrakan menempati rumah tersebut sehingga kembali denyut kehidupan terasa di rumah kontrakan tersebut.
Kali ini, rumah tersebut difungsikan sebagai toko pakaian. Tidak ada yang aneh dengan penghuni rumah, di awal-awal buka, suasana toko sangat terasa. Banyak pelanggan yang hilir mudik berkunjung ke rumah tersebut.
Penghuni rumah yang hanya seorang diri pun cukup ramah pada tetangga sekitar. Namun, kondisi ini tidak berlangsung lama. Setelah berjalan sekitar enam bulan, toko mulai sepi dan tak terlihat lagi ada pelanggan yang datang berkunjung. Pada akhirnya di bulan ke tujuh toko itu pun tutup. Rumah kontrakan itu kembali sepi.