Lihat ke Halaman Asli

Antara Engkau, Aku dan Dia, atau Aku, Dia, dan Engkau?

Diperbarui: 24 Juni 2015   02:35

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1390364644423331154

Wanita setengah baya itu duduk ditemani laki-laki yang agaknya tampak lebih muda dari dirinya. Di dalam pos jaga sebuah town house tempat Dhodik bekerja, wanita tersebut tampak tersipu dengan pipi merah jambu serta gincu berwarna merah gelap. Kuku bercat ungu blink-blink dengan kaus ketat dan rok mininya. Melayang oleh rayuan maut Dhodik. Kemudian tangan mereka saling menggenggam satu sama lain. Di tangan lain, Dhodik merangkul pinggul wanitanya. Wanita itu kemudian meletakkan kepalanya di atas bahu pria tersebut. Lalu pandangan mereka tertuju pada langit biru yang cerah di hari itu.

Disebuah kapal besar dengan langit yang mulai menguning oleh pancaran sang mentari yang akan pulang kembali ke peraduannya, pria dengan seragam loreng itu berdiri. Sebatang rokok terselip diantara jari telunjuk dan jari tengahnya. Sesekali ia mengecek ponsel. Berharap mendapat sinyal. Tak sabar ia ingin mendengar kabar keluarganya dan kicauan seorang balita yang sudah mulai bisa mengucap ‘papa’ saat terakhir kali ia menemuinya. Hari ini sudah hari ketiga dia berada di atas monster besi ini. Harapannya hanya kepada gelombang samudera yang akan membawanya cepat ke pulau tujuan.

Keesokan harinya ia menerima pesan MMS berisi foto istrinya bersama pria yang tak dikenal sedang bermesraan. Seketika ubun-ubunnya mendidih. Jantungnya seolah ingin meledak. Bibirnya bergetar. Seakan ingin memuntahkan seribu amarah kepada istrinya ketika ia sampai di Jakarta. Awalnya ia ingin memberi kabar kepada keluarganya bahwa ia sudah sampai di Kalimantan, namun ia mengurungkan niat. Dimatikan handphone, sengaja membuat istrinya khawatir. Kemudian dia beranjak ke pintu kapal. Melakukan pekerjaannya, memeriksa penumpang yang mencurigakan atau bisa dibilang imigran gelap. Namun hari itu dia gelisah. Siapa yang mengirimkan foto itu? Isi kepalanya terus berputar.

Kapal sudah mulai kosong. Yang tersisa hanya para awaknya saja. Kemudian dia menghadap kepada komandan dan meminta izin untuk segera kembali ke Jakarta dengan alasan istrinya sakit keras. Karena pada saat itu kapal harus bersandar selama 2 hari lagi. Sedangkan dia tidak bisa menunggu lama untuk menyelesaikan persoalan ini. Dia pergi menuju kabin kapal dan mengemas barang-barangnya, kemudian bergegas menuju bandara. Bersyukur dia masih mendapat tiket penerbangan untuk hari ini. Pesawat pukul 23.00--semoga tidak delay, hatinya berbisik. Dadanya semakin sesak. Matanya memerah. Memendam perasaan penasaran, amarah, dan sedih.

“Kamu kemana sih Untoro.. Kok susah sekali dihubungi, padahal ini sudah hampir seminggu.”Ujarnya seraya mengasah kuku jemarinya dengan handphone ditelinga yang diapit dengan bahu.

“Tumben banget mbak Yanti khawatir..” ledek Tuti yang duduk di lantai seraya mengasah kuku jemari kaki Yanti.

Tuti adalah seorang pembantu yang bekerja dirumah Yanti. Meski seorang pembantu, Yanti menganggap Tuti sebagai teman. Jalan-jalan, bergosip, tentang rahasia apapun dia selalu mencurahkannya kepada Tuti.

“Pokoknya kalo dia pulang, terus nanya-nanya, bilang gue selalu dirumah ya Tut.” Ujarnya.

“Sipp..” Tuti mengacungkan jempolnya yang gendut.

Pagi sekali pukul 05.30 bel rumah Yanti berbunyi. Tuti segera beranjak dari tempat tidurnya. Kemudian ia mengintip dari jendela ruang tamu sebelum membukakan pintu. Ia tersontak ketika mengetahui yang dibalik pintu tersebut adalah Untoro. Dia berlari menuju kamar Yanti. Membangunkan Yanti yang kala itu sedang menjelajahi mimpinya dengan asyik, pulas.

“Mbak.. Mbak.. Mas Untoro pulang..” ucap Tuti berbisik seraya menggoyang-goyang kaki Yanti.

Mata Yanti perlahan mulai terbuka. Tuti terus berucap bahwa suaminya pulang dan segera membukakan pintu untuknya. Ketika Yanti sudah sadar sepenuhnya, tiba-tiba ia loncat dari tempat tidurdan merapikan rambutnya. Untoro akan marah jika Yanti tidak melakukan ibadah Shalat Subuh. Padahal, selama ini Yanti tidak pernah menjalankannya.

Bel terus berbunyi. Sekarang temponya lebih cepat. Dibalik pintu Untoro terus berdiri.

“Assalamualaikum.. Yanti!!” telunjuknya menekan bel. Kepalan tangannya mengetuk pintu. Begitu seterusnya.

Yanti terus berlari. Sekali lagi, sebelum membuka pintu ia membereskan rambut dan bajunya agar tidak tampak seperti bangun tidur. Ceklikan kunci berbunyi. Gagang pintu bergerak. Untoro menghentikan kegaduhan bel dan ketukannya.

“Eh, Mas kok nggak ngasih kabar ke Yanti dulu kalau sudah sampai Jakarta? Dihubungi juga dari kemarin nggak bisa. Ada apa, Mas? Ayo masuk, kamu pasti lelah.” ujar Yanti.

Plakkkkk! Suara itu lantas terdengar. Pipi Yanti memerah. Tetapi kali ini bukan karena blush on yang sering ia pakai, melainkan ciplakan tangan Untoro. Rambutnya menutupi sebagian wajahnya. Tangannya bergetar, kemudian mengusap ke pipinya yang merah.

“Ada apa, Mas?” ucap Yanti lirih.

“Aku yang mestinya bertanya! Apa-apaan ini?!” teriak Untoro dengan menunjukan foto di handphonenya yang ia terima dari MMS kemarin.

Yanti terkejut. Alisnya menyatu. Jantungnya berdebar. Rasa takut membekam mulutnya, sehingga ia hanya bisa terdiam.

“Ayo jelaskan!!” seru Untoro dengan matanya yang membesar.

Kemudian Yanti berlari ke kamar tanpa menjelaskan alasan sedikitpun kepada Untoro.

Didalam kamar Yanti terus menangis. Suaranya semakin kencang. Kedua anaknya ikut menangis mendengar perdebatan mereka. Tuti menggendong si bungsu yang masih berusia 1 tahun, sedangkan si sulung berada di samping Yanti. Sulung tersebut berusaha menenangkan hati Ibunya yang terus menangis, namun lama kelamaan sulung tersebut ikut menangis. Kemudian Untoro pergi ke kamar Yanti dengan suara derap boots hitam yang belum ia lepaskan.

“Janganlah kau anggap ini akan menyakiti hatiku, tapi ini semua sangat menyakitkan bagi anak-anak. Hatiku ini sudah hilang rasa. Berkali-kali kau berbuat seperti ini. Apa salahku padamu sebenarnya, Yanti?” Ujar Untoro. Kali ini dia sedikit tenang.

“Dengarlah Yanti, anak-anak sangatlah tidak nyaman dengan apa yang kita perbuat barusan. Sesungguhnya aku tak ingin melukai kau sedikitpun. Namun beban kepala ini tidak bisa terus tertahan, maafkan kekhilafanku. Aku sadar aku terlalu jauh untuk mengais rizki, namun itulah yang harus kujalani. Demi kalian, demi kamu, demi anak-anak kita.” Air mata Untoro menetes.

Terdengar suara tawa balita. Dia merangkak menuju kamar. Kemudian kaki Untoro serasa ada yang menggelayuti, balita tersebut mencoba untuk berdiri. Untoro tersenyum. Dibantunya berdiri kemudian diangangkatnya dan meletakkan didekapan. Ditatapnya balita tersebut. Mata yang bulat dan pipi yang tambun. Lalu dia tersenyum seakan menghibur hati ayahnya. Senyumnya berkembang sehingga menunjukkan gusi yang tampak belum tumbuh tulang-tulang gigi. Hangatnya dekapan Untoro membuat balita tersebut terlelap tidur. Kemudian meletakkannya di box bayi biasa tempat Yanti menaruhnya.

“Kau belum memberi alasan sedikitpun kepadaku, Yanti.. Tolonglah bersikap dewasa dalam mengatasi masalah. Aku berjanji tidak akan kasar lagi kepadamu. Apapun alasanmu aku akan menerimanya, jujur aku sudah lelah dengan semua ini.” Untoro duduk di ujung tempat tidur dengan muka yang lusuh, berantakan.

“Siapa yang mengirimkan foto itu?” ucap Yanti seraya mengangkat tubuhnya, lalu menghadap ke arah suaminya. Dia masih belum berani menatap mata sang suami.

“Aku sendiri juga tidak mengetahuinya.”

“Bohong! Kau pasti memata-mataiku selama kau tidak dirumah..”

“Apa gunanya aku menghamburkan uang untuk memata-mataimu? Lebih baik aku belikan susu untuk anak kita.”

“Maafkan aku Mas, aku rindu. Rindu akan belaian mesra seorang suami. Rindu akan perhatian seorang pria. Rindu akan segalanya yang seharusnya menjadi bumbu rumah tangga kita. Aku tahu aku salah, aku bersedia untuk kau kutuk.” Ucap Yanti menunduk.

Untoro mengeluarkan handphonenya, membuka pesan MMS yang diterima kemarin. Kemudian ia tekan tombol telepon berwarna hijau, lalu didekatkannya handphone tersebut ke telinga. Setelah terdengar bunyi “tuuut” tiba-tiba terdengar suara ringtone handphone lain berbunyi. Dimatikan sambungan handphonenya, kemudian ringtone tersebut ikut berhenti memutar lagu 'Yeah3x' milik Chris Brown. Ditekannya lagi tombol telepon tadi, kemudian lagu ringtone itu kembali terdengar. Dia berniat mencari sumber suara tersebut, meninggalkan Yanti yang tengah duduk disebelahnya. Sepertinya berasal dari arah dapur, pekiknya. Melihat wajah suaminya, Yanti penasaran kemudian mengikutinya menuju arah dapur.

“Sepertinya di dalam kamar.” Kata Yanti.

Dibukanya kamar tersebut perlahan-lahan. Terdengar suara gesekan pintu dan ubin yang memekik. Semakin keras suara ringtone terdengar. Terlihat pemandangan kamar tidur, meja, dan almari. Kamar itu berantakan. Diraihnya handphone genggam yang berada di atas kasur yang sudah berantakan pula. Dibukanya lemari yang ada dikamar itu. Kosong. Hanya terdapat Koran yang sengaja diletakkan sebagai alas baju dan beberapa butir kamper. Dilihatnya tingkat lemari paling atas. Terdapat sebuah kertas. Kertas itu bertuliskan ;

Benih yang tertanam akan selamanya tumbuh menjadi seseorang yang aku harap sama persis seperti induknya .. Agar aku dapat merasakan setiap hembusan nafas , bola mata yang sama. Dan kasih sayang yang pasti akan sama kelak ia rasakan seperti apa yang telah dirasakan oleh sang induk..”

“Tuti.. “ Nama itu keluar dari mulut mereka secara serempak.

Photo by : opi_kinanti.blogspot.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline