Ruangan 3 x 4 m² dengan dinding dan atap warna putih, tempat tidur dengan bed cover bunga-bunga, meja belajar yang penuh stiker pesebak bola Michael Owen idolanya. Wajah polos dengan senyum manis menghiasi wajahnya di tempat tidur. Tangannya dengan kuat menggenggam seolah olah mengatakan dia sedang tidak baik-baik saja. Ucapannya lirih berbisik mengisyaratkan sedang berbicara dengan teman terbaiknya.
Keluarga kami memanggilnya “Wati”, kakak ke 3 dari 4 bersaudara. Pernah menjuarai lomba akademik di tingkat kabupaten sudah tidak asing baginya. Menjadi kebanggaan keluarga di rumah, tak jarang diriku iri akan keberhasilannya. Dia juga pernah mendapatkan nilai NEM 100 pada mapel Matematika saat Ujian Nasional kelas 6. Terakhir adalah sebagai mahasiswa Fakultas Kedokteran di salah satu Universitas terkenal di Jember melalui jalur PMDK.
“Kak, kamu sedang bicara dengan siapa ?” kataku padanya dengan tatapan penuh tanya. “Kamu mau aku kenalin dengan temanku ?” katanya padaku sambil menggenggam erat tanganku. Di dalam kamar itu hanya ada kami berdua, seketika hening dan mataku terus menatapnya mencerna setiap kalimat yang diucapkannya.
Hari berganti bulan, langkahnya semakin tak pasti. Teman khayalannya semakin dekat dengannya seakan berada tepat di sampingnya. Berbagai pengobatan sudah dilakukan, mulai dari membawa ke Rumah Sakit ternama di Malang, bertanya ke psikiater, bahkan ruqyah.
“Ibu, kenapa semua orang melihatku ?” tanya Wati. “Semua orang melihatmu karena kamu istimewa, Saat itu kami bertiga sedang membawa kak Wati ke Rumah Sakit, dan di Rumah Sakit itulah kak Wati mendapatkan ruqyah dari seorang ustadz.
“Ibu, sakit semua badanku, panas, tolong bu, jauhkan orang itu, jangan mendekat !!!” teriak Wati sambil menutupi telinganya. Karena tak tega melihat putri kesayangannya kesakitan, akhirnya ibu keluar ruangan. Akupun tak tega melihat ibu, lantas kupeluknya erat, tak terasa air mata pun menetes.
Langkah kaki semakin berat, tapi tak menyurutkan kami demi kesembuhan kak Wati. “Bu, ayo kita ke psikiater, mudah-mudahan dapat petunjuk tentang kak Wati,” ajakku pada ibu. Tak pikir lama, ibu setuju dengan permintaanku, kita bertiga ditemani ayah berangkat ke psikiater mengantar kak Wati.
Selama 3 jam kak Wati berada dalam ruangan, hanya berdua dengan dr psikiaternya, namanya dr Nisa, raut wajahnya meneduhkan, tutur katanya menenangkan, harapan kita semoga mendapat petunjuk tentang apa yang dialami kak Wati. “Orang tua dari Wati bisa masuk, silahkan !” panggil asisten dr Nisa, ibu dan ayah langsung memasuki ruangan.
Secara pelan dr Nisa menjelaskan, “ibu, bapak, putri kalian terkena Schizofrenia, Schizofrenia adalah gangguan kejiwaan kronis ketika pengidapnya mengalami halusinasi, delusi, kekacauan dalam berpikir, dan perubahan sikap. Gejala awalnya, pengidap jadi lebih mudah tersinggung, kesulitan konsentrasi dan sulit tidur. Satu-satunya jalan untuk menekan tingkat halusinasinya adalah minum obat-obatan seumur hidupnya.”
Pintu ruangan dr Nisa terbuka, ibu dan bapak berjalan keluar pelan-pelan, tangan bapak merangkul ibu dan tanpa sepatah kata pun yang keluar dari mulut mereka berdua. “Pak, bu, bagaimana kata dr Nisa ?” tanyaku pelan. Mereka hanya tersenyum dan kita sama-sama berjalan keluar mencari mobil, meninggalkan potongan cerita schizofrenia.
Hari ini tanggal 4 Desember 2022, bertepatan hari kelahiran kak Wati, nasi kuning menghiasi meja kayu, untaian doa dari ayah mengalir mengisi tiap sudut ruangan. Dari sudut ruangan terlihat senyum kecil dari bibir, suami dan anak laki-lakinya. “Selamat kak, semoga kak Wati sehat terus, bahagia selalu dengan keluarga kecilnya,” doaku untuk kakak perempuanku, kak Wati.