Pernahkah kamu mengunjungi salah satu pulau kecil di Indonesia? Aku pernah beberapa kali. Gili Labak misalnya, kunjungan terakhirku di pulau kecil yang secara administratif masuk wilayah Kabupaten Sumenep. Gili Labak yang dihuni tak lebih dari 35 kepala keluarga ini menjadi salah satu potret dari pulau-pulau kecil di Indonesia yang memiliki permasalahan klise kebutuhan air bersih.
Di setiap kesempatan kunjungan, berada di tempat typical seperti ini selalu membuatku merasa prihatin sekaligus bersyukur. Prihatin karena perjuangan masyarakat yang mahal untuk mendapatkan air bersih. Sumur yang diandalkan sebagai sumber air bersih jauh dari tawar, cenderung asin atau terasa payau. Menanti pahlawan mengadakan water treatment dari pemurnian air laut tentu saja hanya berada di batas antara khayalan dan kenyataan. Membeli air dalam wadah jerigen menjadi pilihan meski harus men-supply dari pulau seberang yang jarak tempuhnya bisa lebih dari satu jam berperahu nelayan. Pantas saja Unicef mengklaim negara kita tercatat sebagai satu dari sepuluh negara yang dua per tiga populasinya tidak memiliki akses ke sumber air minum (2014). Bersyukur karena aku tereksisting tinggal di tempat yang masih berlimpah air bersih, ibaratnya membeli Aqua terjangkau di setiap langkah, tanpa harus bersusah payah seperti saudara-saudara yang tinggal di tempat terpencil. Sekali waktu ketika air kran di rumah kita berhenti mengalir, paniknya sudah sangat luar biasa. Inilah kenapa air menjadi sumber kehidupan yang utama untuk manusia.
Tetapi lebih sering, berbagai kemudahan mendapatkan air justru membuat kita lalai menjaga kesinambungannya, melupakan keberlanjutan kehidupan untuk generasi setelah kita. Padahal tidak menutup kemungkinan Aqua, atau perusahaan air mineral lainnya akan semakin kesulitan mengolah sumber air karena kualitasnya yang semakin menurun akibat living habit manusia kebanyakan. Bahkan sekedar mengingatkan kesadaran antar sesama untuk menggunakan tissue seperlunya saja justru lebih sering dianggap sebagai makhluk aneh dan berlebihan, padahal produksi tissue sangat tidak sebanding dengan produktifitas pohon yang tentu saja berimbas pada ketersediaan cadangan air. Penggunaan tissue hanya salah satu dari sekian banyak kebiasaan dan aktifitas sehari-hari yang cenderung merusak lingkungan yang berakibat pada penurunan kualitas air bersih.
[caption id="attachment_363663" align="aligncenter" width="464" caption="Semoga ia akan tetap mengalir menyokong kehidupan bumi"]
[/caption]
Revolusi mental manusia Indonesia sepertinya masih sangat jauh mencapai level baik untuk sampai pada pemikiran dan kesadaran lebih peduli terhadap akibat dari aktivitas yang dilakukan. Teman-teman di sekelilingku yang mengaku pecinta alam dan sering melakukan aktivitas pendakian pun, tidak selamanya bisa mempertanggungjawabkan kecintaannya terhadap lingkungan. Padahal tidak jarang dalam perjalanan mendaki kita kehabisan air, tidak bertemu sumber air, dan sudah sangat merasa beruntung ketika sekedar menemukan setetes embun di ujung daun. Tidak perlu melihat orang lain, aku sendiri sering berasa bersalah karena terpaksa meninggalkan tissue basah bekas tanpa membawanya turun bersama sampah lain ketika mendaki gunung, tanpa sadar telah merusak vegetasi yang kita lalui, atau setiap langkah mendaki membuat tanah yang kita injak tergerus longsor sedikit demi sedikit. Air, tanah dan vegetasi, ketiganya tidak bisa dipisahkan satu sama lain untuk menjaga keberlangsungan kehidupan.
[caption id="attachment_363674" align="aligncenter" width="461" caption="Sebuah potret perusak lingkungan, menggerus tanah, merusak keseimbangan alam."]
[/caption]
Latar belakangku di dunia property dan rancang bangun pun lebih banyak dituding sebagai pelaku perusak lingkungan. Padahal dasar membangun sebenarnya mengacu pada design guidelines yang seharusnya memperhatikan keseimbangan lingkungan. Munculnya peraturan garis sempadan bangungan, koefisien dasar bangunan, koefisien lantai bangunan adalah beberapa contoh yang sudah melewati proses pemikiran ilmiah yang selalu berpihak pada kesinambungan kehidupan. Itu sebabnya aku tak segan berbagi pengertian kepada para pemilik tanah yang ingin membangun wadah aktivitasnya dengan pemahaman peraturan-peraturan tersebut.
Garis sempadan bangunan adalah garis imaginer yang seolah-olah ditarik sejajar batas pagar depan ke dalam tapak/ site sejauh yang diperbolehkan oleh peraturan setempat. Garis ini menjadi acuan batas terluar mendirikan bangunan. Batas terluar ini bisa diartikan sebagai kolom atau dinding terluar bangunan. Setiap daerah memiliki batas sempadan berbeda. Hal ini dikarenakan kondisi eksisting geologi, geografi dan kondisi tanah yang berbeda-beda, termasuk daya serap air, kelembaban, curah hujan, iklim dan faktor alam lainnya. Apabila kita akan membangun rumah kurang memahami berapa jarak sempadan yang diperbolehkan, kita dapat mengasumsikan dengan dinding terluar bangunan tetangga sebagai acuan. Tapi alangkah lebih baik jika dengan kesadaran diri mencari informasi valid untuk berapa jarak GSB yang diperbolehkan, ketimbang sudah terlanjur merancang ternyata terkendala di perizinan mendirikan bangunan. Garis Sempadan Bangunan diterapkan supaya setiap pemilik bangunan mempertimbangkan area terbuka hijau untuk peresapan air tanah dan membiarkan tanah tetap 'bernafas'. Oleh karena itu ada baiknya untuk tidak mengadakan perkerasan di daerah antara GSB dan Garis Sempadan Pagar, meskipun pada kenyataannya penyimpangan lebih banyak ditemui di lapangan, misalnya menutup area carport dengan perkerasan paving blok atau material lainnya, atau menfinishing halaman dengan keramik atau plester. Meskipun sebenarnya hal ini terlihat lebih bersih, tetapi laju aliran air hujan tentu saja tidak maksimal. Terlebih semakin memperburuk efek pemanasan global.
Koefisien Dasar Bangunan adalah angka prosentase luasan terbangun yang diperbolehkan. Prosentase ideal membangun rumah ada di angka 60, itu artinya 60% dari total lahan adalah area yang diperbolehkan menjadi ruang dalam. Sisanya 40% menjadi area terbuka hijau atau ruang luar. Namun tidak menutup kemungkinan ketika membeli kavling atau tapak di daerah peresapan air yang wajib mengadakan area RTH sebesar 80%, itu berarti hanya 20% dari total site yang boleh didirikan bangunan. Ada baiknya memahami kondisi eksisting sebelum membeli, meskipun ketika segala peraturan bisa dipatahkan dengan membayar denda, kita terlanjur gagal menjadi manusia yang seharusnya bertanggung jawab terhadap lingkungan yang kita pelihara.
Koefisien Lantai Bangun adalah jumlah lantai yang diperbolehkan untuk kegiatan rancang bangun di area terkait. Hubungannya dengan lingkungan adalah efek bayangan yang ditimbulkan karena keberadaan suatu bangunan. Sebagai contoh, sebuah gedung pencakar langit yang berada di tengah permukiman akan menghalangi jatuhnya sinar matahari dalam skala luasan tertentu. Pengaruhnya tidak hanya pada area jemur baju, tetapi juga barangkali menghambat pertumbuhan vegetasi, kadar kelembaban bertambah, dan pengaruh keseimbangan alam lainnya.