Lihat ke Halaman Asli

Hujan Datang, Padi Ambruk, Petani Terpuruk

Diperbarui: 29 Desember 2015   07:45

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="(gambar padi yang ambruk)"][/caption]

Musim hujan di Indonesia terjadi pada bulan Oktober sampai April. Musim hujan di Indonesia disebabkan oleh hembusan Angin Muson Barat yang bertiup dari Benua Asia yang  bertekanan maksimum ke Benua Australia yang bertekanan minimum. Angin Muson Barat ini  banyak membawa uap air, sehingga di sebagian besar wilayah Indonesia mengalami musim hujan. Namun musim hujan pada tahun ini mengalami kemunduran, khususnya di Daerah Istimewa Yogyakarta. Menurut Badan Meterologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG). Hal tersebut didasari oleh kenaikkan indeks El Nino Southern Oscillation (ENSO) dari 1,6 pada Juni menjadi 2,2 pada Desember mendatang.

El Nino adalah suatu gejala penyimpangan kondisi laut yang ditandai dengan meningkatnya suhu permukaan laut di Samudera Pasifik sekitar equator (equatorial pacific) khususnya di bagian tengah dan timur (sekitar pantai Peru). Penyimpangan ini akhirnya berdampak penyimpangan kondisi laut hingga terjadi penyimpangan iklim. Akibatnya di beberapa daerah di Indonesia, khususnya sebelah selatan garis khatulistiwa, terjadi kemarau panjang. Daerah-daerah di Indonesia yang berpotensi terkena dampak El Nino 2015 meliputi Sumatera Selatan, Lampung, Jawa, Bali, Nusa Tenggara, Kalimantan Selatan (Kalsel), dan Sulawesi Selatan (Sulsel).

Musim hujan yang datang, walaupun mengalami kemunduran disambut dengan gembira oleh para petani pada umumnya. Karena selama musim kemarau aktivitas mereka terhenti sementara atau seperti hewan yang hibernasi di musim dingin. Hal tersebut disebabkan karena lahan pertanian yang kering dan tidak ada sumber air yang dapat mengairinya. Saat lahan mereka mulai terairi, para petani mulai bercocok tanam dengan menanam padi, palawija, sayuran, dan lain-lain.

Namun, keadaan yang berbeda terjadi di kabupaten Bantul, DIY. Pada musim kemarau menurut Kepala Dinas Pertanian dan Kehutanan (Dispertahut) Bantul, dari 15 ribu hektare lahan pertanian di Bantul ada 8500 hektare yang bisa ditanami padi. 3000 hektare di antaranya memang bisa ditanami dengan pola tanam padi abadi yaitu padi-padi-padi. Hal tersebut disebabkan karena sumber air yang melimpah walaupun musim kemarau sedang berlangsung.

Musim hujan yang datang pada bulan November tahun ini justru dianggap sebagai musibah oleh para petani di desa Jambidan kecamatan Banguntapan. Hal tersebut dikarenakan padi yang mereka tanam pada saat musim kemarau sudah hampir dipanen pada saat musim hujan datang. Para petani harus menelan pil pahit karena menerima kenyataan bahwa tanaman padi mereka ambruk. Hujan deras yang disertai angin yang terjadi belakangan ini menjadi penyebab utamanya. Selain itu, penyebab lain adalah karena tanaman padi tersebut terlalu lebat, sehingga akarnya tidak mampu menopang beban yang sangat berat atau tidak seperti biasanya. Sehingga ketika terkena angin yang tidak terlalu kencangpun akan ambruk juga.

Luas tanaman padi yang ambruk di perkirakan ¼ dari lahan pertanian di desa tersebut. Sedangkan kondisi tanaman padi yang ambruk tersebut belum tua atau masih muda, tetapi tinggal menunggu hitungan minggu untuk dipanen. Hal tersebut mengakibatkan para petani kebingungan. Karena jika menunggu sampai masa panen atau sampai tanaman padi tua, padi yang ambruk tadi akan busuk dan tidak dapat dipanen.

Upaya yang dilakukan para petani di desa Jambidan adalah dengan memanen dini padi tersebut. Walaupun mereka tahu padi yang mereka panen adalah padi muda atau padi yang belum sepenuhnya berisi. Tetapi, tidak ada pilihan lain, itu adalah pilihan terakhir mereka. Dan upaya selanjutnya adalah ikhlas, tabah, tawakal, dan bersyukur atas rezeki yang mereka dapat agar tidak terlalu kecewa dan merasa terpuruk.

Walaupun luas tanaman yang ambruk diperkirakan hanya ¼ dari lahan pertanian mereka, tetapi hal tersebut menimbulkan kerugian. Kerugian yang ditimbulkan berupa kerugian materiil dan non materiil. Kerugian yang berupa materiil yaitu panen yang didapat tidak sebanding modal yang telah dikeluarkan para petani. Kerugian yang berupa non materiil adalah rasa trauma untuk bercocok tanam lagi karena takut akan terjadi hal yang sama.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline