Lihat ke Halaman Asli

Teddy dan Haji Lulung

Diperbarui: 17 Juni 2015   09:51

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya, lahir di Tanah Abang, melalui masa kecil, masa remaja, dan sedikit waktu saat baru menikah disana . Sampai skr, rumah masa kecil yang berlokasi di jalan Jatibaru, Tanah Abang, masih ada.

Rumah masa kecil itu persis bersisian dengan tembok Stasiun Tanah Abang, dan memang itu adalah rumah dinas PT. KAI, dulu Perumka, dulu banget PJKA. Sampai hari ini rumah itu masih ada, abang saya masih tinggal disana.

Meski bapak Sunda, namun darah ibu saya yang Jawa-Betawi sepertinya lebih kuat melekat di saya dan semua kakak saya. Setiap ada yang tanya, asli dari mana, saya dan kakak-kakak saya lebih suka menjawab Betawi, ketimbang mengaku Sunda atau Jawa, karena saya merasa tak memiliki akar dikedua suku itu. Nenek buyut saya dari alm. mama asli Betawi. Cantik, langsing dan putih. Selalu mengenakan kebaya encim, bahkan saat dirumah. Saya memanggil beliau iyo (nama asli beliau Iroh/Sairoh), paling jago masak peda bakar dan sambel limo (jeruk limau). Setiap main ke rumah iyo, suguhan sayur asem, peda bakar dan sambel limo jadi rebutan.

Sebagai anak yang tumbuh di Jatibaru, juga Tanah Abang dan sekitarnya, saya terbiasa melihat berbagai acara kriminal disana. Rumah saya sangat dekat dengan Bongkaran, wilayah prostitusi yang beken se-Jakarta. Melihat pekerja seks komersial, dulu wts, dulu banget lonte, dengan bedak tebal, gincu menyala, wangi menyengat dan pakaian sangat minim jadi pandangan sehari-hari. Belum lagi musik dangdut yang hingar bingar.

Wilayah ini sejak dulu padat penduduk.  Rumah-rumah berhimpitan di gang-gang kecil, kumuh, dan got yang airnya berwarna hitam, lengkap dengan kotoran manusia didalamnya. Bagi saya, menyaksikan orang tergeletak di pinggir jalan karena mabuk,  pertengkaran suami istri dijalanan atau gang rumah mereka sampai saling tampar, ibu-ibu yang bertengkar hingga saling jambak, pemuda yang berantem karena mabuk, pemerasan, bahkan pembunuhan jadi hal yang biasa buat saya.

Usia SD kelas tiga, saya sudah melihat leher supir taksi yang mengalirkan darah segar karena ditikam pisau penodong, persis di depan Stasiun Tanah Abang. Melihat sekelompok ABG digebukin dan diinjak-injak empat polisi didepan mata saya hanya karena omongannya tentang 'prit goceng' terdengar polisi. Bahkan bapak dan dua abang laki-laki saya pernah menenteng golok dan linggis, karena mendapati kakak perempuan saya pulang sekolah sambil menangis karena pipinya dicium orang dijalanan. Mereka mengejar laki-laki kurang ajar itu, yang sudah menghilang entah kemana.

Dulu abang tertua saya punya teman baik, namanya Teddy. Sejak SD, nama Teddy di Jatibaru cukup masyhur. Perawakannya tinggi, putih dan ganteng. Tapi Teddy preman. Semua orang tahu dia preman. Dia berani ngajak berantem siapapun yang bikin rusuh. Teddy rajin ke rumah sambil menawarkan sewaan kaset video atau jualan roti atau bak pao. Bapak dan mama sayang sama Teddy. Mereka selalu menyewa video dan membeli apa yang Teddy tawarkan. Karena keluarga kami dekat dengan Teddy, kalau ada masalah dengan orang Jatibaru seberang, dimana Teddy tinggal, maka bapak -yang saat itu menjadi Ketua RT- akan memanggilnya.

Awal menikah dan kembali ke rumah Tanah Abang, saya masih beberapa kali ketemu dengan Teddy. Saat saya berkongsi dengan tetangga yang membuka warung nasi, Teddy menjamin saya tak akan dipalak siapapun. "Kalau ada yang berani malak warung lo, ke rumah gw aja ndah, gw cari sampe mati tu orang," begitu janjinya. Ucapan Teddy terbukti, warung-warung lain dimintai uang keamanan setiap hari. Warung saya, meski saya tak pernah menyebut nama Teddy, selalu dilewati. Beruntung juga ya... hehehehe...

Menjelang pindah kembali ke Depok, saya mencari Teddy ke rumahnya untuk pamitan. Tapi tak pernah ketemu. Hampir semua tetangga Teddy bilang, Teddy sudah direkrut jadi orang kepercayaan H. Lulung, nama yang sangat masyhur di Tanah Abang dan sekitarnya. Saat itu, kata mereka, Teddy selalu diajak kemana pun Haji Lulung pergi. Saya tak bisa mengkonfirmasi, karena sampai saya pindah ke Sawangan, saya tak pernah lagi bertemu Teddy.

Sekarang nama Haji Lulung makin ngetop. Tapi saya tetap tak menemukan jejak Teddy. Semoga Teddy baik-baik saja sama Haji Lulung. Semoga Teddy juga masih hidup, karena saat terjadi bentrokan dengan geng Hercules, saya mendapat cerita dari tetangga disana, Teddy seringkali ada di barisan depan untuk melawan Hercules.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline