Lihat ke Halaman Asli

Kembara Hati (Bag 3)

Diperbarui: 26 Juni 2015   07:29

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13008996571946180560

Mahisa menghentikan langkah tepat sebatas mata memandang jelas rumah tercintanya, ragu dan rindu bertalu saling mengadu, malu semakin menguasai kalbu, terbayang penolakan diri akan hasrat yang tersirat dari kedua orang tuanya, ketika orang tuanya mengabulkan keinginan hatinya, ternyata yang didamba merombak bangunan cintanya, yang menjadi kekuatan hilang sudah tergerus realita yang tak pernah terlintas sejenakpun di dalam pikirannya. “Ahh….maafkan aku ibu….”ditariknya napas yang panjang , sambil perlahan di kuatkan keyakinannya akan cinta yang akan menyambutnya. Lamat-lamat terdengar alunan ayat-ayat suci yang semakin menggetarkan hati….melembutkan saraf-saraf sekujur raga, semakin lama semakin jelas mempesona jiwa melebihi symphonynya Ludwig van Beethoven sekalipun. “Assalamualaikum…………” “Sodaqallahul adzim………, waalaikumussalam…” Pintu berderit perlahan, diantara keremangan malam, sang ibu mengerutkan keningnya, menatap tajam wajah di depannya, sedetik kemudian… “Nyaiiii….???” “Ibuuu…” Pelukan erat semakin kuat, dua insan hanyut dalah isak keharuan, melayang terbawa bayu kebahagiaan. Di ciuminya Mahisa penuh rindu dan cinta… “Alhamdulillah Yaa Rabb….Engkau Maha mengabulkan…” “Maafkan Nyai bu…..” “Ssssttt……lupakanlah….” Dua Insan, hanyut dalam terpautnya keindahan sebuah rindu dan harapan. ………………………………………………………… Pagi yang cerah, di sambut cicit pipit yang genit bercanda, menambah hangat mentari yang semakin bergairah.. Bertiga menikmati kerinduan yang sempat melanglang. Begitu terasa suasana indah dan bahagia diantara mereka. “Abah….berilah Nyai pemahaman tentang cinta, agar tak tersesat di belantaranya..” Abahnya menatap Mahisa dengan lembut, seringai senyum sayang terlepas dari kedua bibir tuanya. “Nyai….., Cinta adalah suasana, bukan wujud, bukan pula bayangan, Jika yang kau damba adalah wujud, dia akan mudah berubah dan menghilang, kenapa itu yang kau tuju yang akan membuat tersiksa. Bukankah yang diinginkan adalah keabadian dalam cinta….?” Mahisa tertunduk “Nyai……Cinta adalah ciptaan rasa, bukan ‘bentuk’ yang melenakan dan membuat gila. Cinta ada didekat dirimu, didalam dirimu, melekat dalam jaringan jiwa. Mengapa harus mengharap nun jauh yang menguras peluh. Tafakurlah dalam pelepasan emosi sesaat, bukalah kacamata penegas fatamorgana, biar tidak terkurung di ‘negeri harapan’ mengharapkan ‘seandainya’, bukan begitu bu…?” seolah minta ketegasan istrinya “Nyai…..” ibunya memandang lembut Mahisa “Cinta bukan hanya Bahagia, bukan sekedar romantis dan perhatian. Cinta tidak sebatas bersatu. Rasa sakit, pedih, penghianatan, kecewa…adalah bagian dari cinta, bila Kau ambil sebagian saja, jangan harap akan pernah merasakan lezatnya cinta.” Mahisa memandang lekat abah dan ibunya, ada gelombang yang menumbuk ke kedalaman sanubari, seakan ingin menghancurkan karang-karang yang mendangkalkan pemahaman, tatapan yang menerawang seolah menemukan titik persinggahan keteguhan baru. “Nyai….” “Iya abah….” Lembut penuh malu “Ciptakanlah ‘Rasa’ itu …….kemanapun kau memandang, dimanapun kau berada, kamu akan selalu bersama Cinta” “Tapi……”Mahisa sedikit menoleh keduanya “Semudah itukah abah, ibu….” “Sangat, sangat…….sangat tidak mudah, untuk yang di tinggalkan keyakinannya, dan terbuai malas dalam menjalani proses usahanya…” Abah menatap penuh meyakinkan. “Ibu pernah muda, memang tak mudah menghapus jejak yang sudah mengukir kuat, ubahlah arah sudut pandang dalam mensikapi permasalahan….” “Maksud ibu…?” “Ketika pedih dan duka melewati masa, jangan kau ambil persepsi karena hati dia yang salah, kemungkinan kecil kita mampu mengubah hati itu untuk kembali seperti dalam asa. Ketika cinta dan bahagia, diyakini ada dalam diri seseorang dan karena seseorang, terlalu berat kita akan memiliki rasa keduanya ………… Karena ketika orang itu lari berlalu, dia akan membawa serta Cinta dan bahagianya, dan kita akan kehilangan. Mengubah, membentuk dan mencipta yg ada di diri, itu lebih bijaksana menuju apa yg kita harapkan…” Mahisa meneguk teh hangat sambil memandang jauh entah kemana “Nyai……..Kita hanya punya sedikit cinta yang kita pinjam dari-Nya. Penyadaran tak memiliki penuh akan cinta, adalah awal kelapangan hati dan jiwa.dan membuat kita berjuang dengan waktu, agar jangan terenggut sebelum melahirkan makna, agar jangan lepas diperbatasan sebelum menjelmakan bahagia.” “Nyai……..Karena cinta kita dari-Nya, dan hanya untuk-Nya, cintailah yang kita cinta hanya karena-Nya. Rasakanlah getarnya,….tak akan menyesal meski ada yang hilang, tak akan murka walau hati tertiup lirih rindu, tak akan sakit walau cintanya pergi…Karena sudah ada cinta-Nya selalu mengisi di setiap tarikan napas dalam janji di keabadian kasih-Nya………………..Itulah jiwa yang tak berharap memiliki cinta, namun dia selalu terpenuhi cinta……..” …………………………………. Mahisa merenung dalam bait-bait indah pelipur gundah, walau masih harus mengolah, bayang-bayang hati yang lepas mulai tergambar di lukis alam. Dia semakin merasa tetesan-tetesan sejuk orang-orang yang mengasihinya telah meruah meliputi ruang baru kembaranya Komunkasi telah membuka hati yang terkunci di ruangnya sendiri “Ragawi……….”tak terasa lirih terlepas begitu saja “Walau aku merasa sempat tersakiti, bukan…..bukan karenamu…., akulah yang belum memahami lembaran-lembaran cinta yang sesungguhnya,…………..terimakasih akang, ....... kau telah melukis bermacam warna di kanvas jiwa, hingga aku mengerti akan makna-maknanya.” Ahhhh………Mahisa tersentak mendengar ucapan hatinya, yang terasa semakin lapang, luas, bebas tanpa batas………….. …………………………………..

“Bukit Seribu Cinta” EAR Ciputat Maret 2011

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline