Lihat ke Halaman Asli

Di Perbatasan Janji

Diperbarui: 26 Juni 2015   12:59

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Ku mencoba mengatur getaran jantung yang berdegup keras tak teratur, kutata setiap helaan nafas tetap dalam tarikan tenang. Tak bisa kupungkiri kehadirannya mampu mengoyak kekuatan cinta yang terbungkus sebuah janji. Kulihat jam ditangan “2 menit lagi sebuah jajni akan bertaut, ah…”

Semakin kusibuk merapikan kegelisahan hati, benarkah dia yang ada di profil itu ? akankah keramahan dan kelembutan hatinya seperti untaian kata yang berbaris manja ?

Kuperhatkan pintu masuk caffe itu agar tak lepas dari pandang.

“Satu hati…” tiba-tiba terdengar suara dari belakang mengagetanku, dan detak jantungku semakin menjadi, ‘satu hati’ adalah kata kunci untuk yg pertama menyapa

“Satu Cinta…” ucapku dengan bibir bergetar dan mata terbengong menatap cakrawala dibalik matanya, ‘Satu cinta’ adalah kata kunci yang menjawab, begitulah kesepakatan bersama sebelum bertemu nyata. Kuulurkan tanganku yang hampir aku tak kuasa mengangkatnya

“Kau kah Zatira Zane Aulia Rahmah ?, saya Dimas Abdisyah”

“Terkaanmu susah meleset dan aku tak akan lupa namamu” Senyumnya begitu ramah dengan lirikan mata yang hangat, menatap tepat kehitam mataku

aahhh ……….

“Ohh…. Eehm…. Silahkan duduk…” kucoba menyembunyikan rasa grogi ku

Lalu dia duduk dengan menyilangkan tangan keduanya diatas meja , masih dengan tatapan dan senyum yg sama

Pikirku beterbangan kesana-kemari menari-nari mencari pembenaran untuk meyakinkan apa yg sebenarnya terjadi.

Apakah aku salah lihat di foto itu ? Atau mungkin itu foto 15 tahun yang lalu ? Apakah dia setega itu membohongiku ? seribu pertanyaan mengantri silih berganti, mati aku !! terjebak kebodohan diri, hanyut di arus ilusi.

“Akang tak percaya semua ini ? dengan senyum yang renyah seakan menggoda sambil memiringkan kepalanya ditopang kedua tangannya

“Ooohehmm…enggak..” seakan petir memecah kesunyian terasa

“Barangkali mau pesen sesuatu ?” seorang pelayan menghampiri

Lalu dengan gesitnya Zati mengambil buku menu, dan menuliskan sesuatu di buku pesanan tanpa menghiraukan aku. Tak berapa lama disela kekosongan ucap, pesananpun tiba, dan ………… woow …… semua kesukaanku….ah memang dia tahu semuanya.

Leherku sekan tersumbat, pikiranku sekan lemah tak berdaya, tatapanku sepertinya kosong, menyaksikan Zati menyiapkan segala sesuatunya untukku.

Aku semakin yakin, dialah Zati …….

“Ayo Kang ….., dimakan “

“Ehmmmmm….. ayo juga dong “

“Bilang aja Zati atau Eneng seperti biasanya..”dengan ujung mata yg menggoda dia melirik, seolah tahu kebingungan yang kualami

“Ehm …. Eneng juga dong “

“Pasti dong Kang, ini kan makanan kesukaan eneng, eehhm sepertinya ada yang masih mengganjal di hati akang ?”

“Ehm … ngga ah …. Akang yakin” Kuputuskan apapun yang terjadi, inilah konsekwensi sebuah janji

“Kalau ada yg lebih meyakinkan”

“Seharusnya tak ada lagi”

“Berarti tak ada yg berubah?”

“Insya Allah..”

Aku harus belajar menerima kenyataan, belajar menerima sesuatu yang diluar jangkauan kehendak hati, belajar menerima keputusan hati, mungkin yang lain tidak seperti yang pernah kubayangkan, namun sikap yang dia suguhkan. Aahhh ……. Aku menyukainya melebihi apapun. Usia bukan penghalang untuk menata sebuah cinta.

“Haaaiiiii ….. mami…!!” tiba-tiba seorang gadis belia menghampiri Zati, dan memeluknya erat

“Sudah lama Mih..?”

“Baru …saja …, ayo duduk”

Dan dia membalik kearah ku, tiba-tiba darahku seakan mendidih, mataku melongo polos menatap keindahan tepat dihadapanku

“Zati ……..”tak terasa bibirku mendesis kelu

“Akang Dimas kan ?” sapanya manja sambil mengulurkan tangannya

“………. ?”

……

“Negeri Seribu Cinta"

EAR 240910 Ciputat- Tangerang




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline