Papua adalah kepingan surga yang jatuh ke bumi. Papua adalah surga kecil yang ada di bumi. Setidaknya demikianlah kesan dan makna yang dirasakan Presiden Joko Widodo tentang tanah Papua, Provinsi paling timur di wilayah Indonesia yang telah kembali pada pangkuan ibu pertiwi.
Ungkapan tersebut merupakan status yang dituliskan Presiden Joko Widodo dalam akun twitternya ketika beberapa kali melakukan kunjungan kerja ke provinsi yang dulu bernama Irian Jaya tersebut. "Papua adalah sekeping surga yang jatuh ke bumi. Tugas kita bersama adalah menjaga, membangun, dan memajukannya" yang muncul pada tanggal 2 November 2019.
Tiga tahun sebelumnya, 1 Januari 2016 Presiden RI ke-7 ini mengatakan "Pulau Pianemo Raja Ampat, sangat indah. Surga kecil di Tanah Papua -Jkw" dan keesokan harinya mantan Gubernur DKI Jakarta itu menuliskan status "Empat malam berkesan di Papua. Masyarakat yang ramah. Papua benar-benar surga kecil yang diturunkan ke bumi -Jkw".
Pesona dan pemandangan alam Papua memang luar biasa. Pesona daratannya eksotik dan pesona lautnya memanjakan mata. Namun demikian berbagai permasalahan pelik terus menerus menerpa pada kepingan surga yang jatuh ke bumi ini. Setidaknya kita melihat hal tersebut dari informasi yang beredar baik itu pada media cetak, media online maupun media sosial.
Sebuah dokumen "Papua Road Map" yang disusun oleh para peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia sejak tahun 2009 mengatakan bahwa terdapat 4 masalah di Papua: 1) Masalah sejarah dan status politik integrasi Papua ke Indonesia; 2) Kekerasan dan pelanggaran HAM; 3) Diskriminasi dan marjinalisasi orang Papua di tanah sendiri; 4) Kegagalan pembangunan di Papua yang melingkupi bidang pendidikan, kesehatan, dan ekonomi rakyat.
Sewaktu saya masih bersekolah, kita dengan mudah dapat menyebutkan nama pahlawan-pahlawan di belahan nusantara. Pangeran Diponegoro dari Yogyakarta, Teuku Umar dari Aceh, Sisingamangaraja dari Sumatera Utara, I Gusti Ngurah Rai dari Bali, Haji Agus Salim dari Sumatera Barat, dsb. Tapi siapakah pahlawan nasional dari tanah Papua? Sepertinya kita tergagap-gagap ketika ditanya hal seperti itu sebab memang tidak tertulis dalam buku-buku teks pelajaran mengenai sejarah masa lalu Papua.
Sejarah mengenai konteks masa lalu Papua seakan-akan memang kurang memadai. Kalaupun ada pembahasan sejarah Papua, masih sebatas pada sejarah perjuangan integrasi semata. Padahal, sejarah Papua sebagai bagian yang utuh dari NKRI, memiliki potensi yang beragam, baik dari segi geografi, budaya, antropologi, sosial, dan ekonomi.
Tanah Papua yang dihuni sekitar 4,3 juta jiwa dalam sejarahnya mengalami berbagai sebutan.
Pada masa kerajaan Sriwijaya di abad ke-7 dikenal dengan sebutan "tungki" atau "jengki". Kerajaan Majapahit pun pada abad ke-13 memanggil Papua dengan sebutan yang sama. Pada masa kesultanan Ternate dan Tidore di abad ke-14 dikenal dengan sebutan "Papaua". Pada tahun 1511 Antonio D 'Arbau dari Portugis menyebutnya Os Papua, sementara itu penjelajah Portugis lainnya, Francisco Cerano pada tahun 1521 menyebut bumi Cendrawasih dengan sebutan "Isla de Papo", dan pada tahun 1528 Pelaut asal Spanyol Alvaro De Savedra menyebutnya "Isla de Oro" atau Golden Island (Pulau Emas). Papua juga dipanggil dengan nama "Niew Guinea" oleh pemerintah Belanda pada abad ke-16.
Pada zaman kemerdekaan namanya berubah menjadi Irian Barat. Adalah Frans Kaisiepo, pejuang asal Papua yang mengajukan nama tersebut pada Konferensi Malino di tahun 1946. Irian sendiri mempunyai arti sinar matahari yang menghalau kabut di laut. Presiden Soekarno lantas mempopulerkan Irian dengan sebutan "Ikut Republik Indonesia Anti Netherland". Presiden Soeharto kemudian mengantinya dengan nama Irian Jaya. Nama Papua seperti yang kita kenal hingga kini adalah hadiah natal yang diberikan Presiden Abdurahman Wahid pada tanggal 26 Desember 2001.
Pemerintah perlu mengoptimalkan ekspos yang memadai mengenai konteks sejarah nasional khususnya di tanah Papua. Upaya untuk membangkitkan kembali ingatan akan jejak dan bukti sejarah di Papua memang telah beberapa kali dilakukan pemerintah Indonesia. Semisal menyematkan status Pahlawan Nasional pada Frans Kaisiepo pada tahun 1993.
Namanya juga diabadikan pada Bandara Internasional di Pulau Biak serta nama salah satu Kapal Perang TNI AL. Terakhir pada tanggal 19 Desember 2016, pemerintah mengabadikan gambarnya pada uang kertas senilai Rp. 10.000.