Lihat ke Halaman Asli

Pergulatan Identitas Dalam Roman Bumi Manusia

Diperbarui: 24 Juni 2015   03:34

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Bumi Manusia merupakan sebuah roman fenomenal yang ditulis oleh pengarang terkenal asal Indonesia, Pramoedya Ananta Toer, karya ini telah diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa dunia, sebuah pertanda bahwa Bumi Manusia mendapat apresiasi yang sangat luas dari para penikmat sastra, atau mereka yang sekadar iseng terhadap sastra, roman ini ditulis saat Pramoedya Ananta Toer dipenjara di Pulau Buru, dalam menuliskan karyanya, Pram tak asal berimajinasi, akan tetapi ia juga melakukan pendalaman fakta lewat diskusi dengan beberapa orang yang bisa ia jangkau pada saat itu, Bumi Manusia pada dasarnya tak sekadar karya sastra belaka, lebih dari itu karya ini merupakan bentuk kritik perlawanan terhadap rezim otoriter orde baru, sebagaimana diketahui, orde baru memanfaatkan kekuatan militer untuk melakukan pembungkaman terhadap segala bentuk kritik yang dialamatkan kepada rezim ini, dalam suasana seperti ini, sastra menjadi “tempat pelarian” untuk melakukan kritik dalam bentuk lain terhadap rezim, walaupun telah lahir dalam bentuk roman, karya ini tetap pernah mengalami pelarangan untuk beredar.

Dalam Roman Bumi Manusia, Prammencoba mengangkat pergumulan identitas manusia yang cukup kompleks, ada tiga tokoh yang paling sering muncul sepanjang ide cerita, Minke, Annelies, Nyai Ontosoroh. Ada pula bebrapa tokoh lain semisal Bunda (orang tua minke), Magda Peters, Robert Mellema, Sarah, Miriam, Baba Ahtjong dll. Dengan mengambil setting masa kolonial, penulis mencoba menghadirkan relasi antara tokoh yang cukup pelik, pembaca diajak untuk mendalami karakter setiap tokoh yang sekaligus merepresentasikan identitas tertentu, melakukan pemihakan terhadap salah satu tokoh juga termasuk pelik, halini disebabkan karena penulis menyajikan setiap tokoh sebagaimana realitas pada saat itu dengan segala macam kelebihan dan kekurangnnya, sangat sukar dijumpai tokoh yang benar – benar ideal di dalamnya.

Pergulatan identitas yang disajikan adalah pertarungan identitas pribumi yang dipaksa tercerabut di satu sisi, dan identitas kolonial yang selalu merasa superior dan seolah layak menghakimi pribumi, kolonialisasi identitas pribumi oleh identitas kolonial berlangsung lewat peneguhan simbol dengan menggunakan pengetahuan dan pendidikan (yang lebih banyak dimaksudkan sebagai ajang cuci otak) sebagai jargon, pengetahuan dan pendidikan dalam roman ini selalu diidentikkan dengan keeropaan, semua yang berbau pribumi dilekati label keganasan dan ketertinggalan, manusia pribumi yang tak pernah mendapat sentuhan pendidikan eropa ala Belanda dianggap bengis dan mengancam, termasuk pribumi terpelajar yang hanya dididik di lingkungan pribumi. Pengetahuan dan pendidikan dalm setting cerita ini dipaksa mengabdi kepada kepentingan kolonial, sekali lagi pembaca disajikan alur cerita dimana pengetahuan memiliki hubungan mesra dengan kekuasaan.

Minke sebagai tokoh utama digambarkan sebagai salah satu produk cuci otak, dalam banyak hal ia tercerabut dari identitas kepribumiannya walau di kemudia hari ia terjebak dalam sebuah dilema, bahkan berbalik mengutuk etika eropa yang dulu membesarkan pikirannya, hal itu terjadi saat ia terlibat konflik yang menghantam ruang paling privatnya, etika eropa yang biasa ia pelajari di sekolah ternyata tak berbanding lurus dengan praktik etika itu sendiri, melalui tokoh Minke, Pram sebenarnya mencoba menyinggung Manusia Indonesia sebagai korban modernisasi pembangunan.

Walaupun mengangkat setting masa kolonial, akan tetapi apa yang dituturkan Pram dalam Bumi Manusia merupakan sebuah kritik tajam terhadap pemberangusan identitas yang dilakukan orde baru lewat jargon pembangunan, atas nama stablitas modernisasi pembangunan, rakyat Indonesia dipaksa untuk mengikuti semua resep pemerintah tanpa perlu mempertanyakan apalagi mengkritiknya, rakyat diberikan keleluasaan dalam menempuh jalur pendidikan namun pengetahuan yang ia dapat hanya diperkenankan untuk mendukung agenda modernisasi pembangunan yang dalam banyak hal justru memaksa rakyat Indonesia keluar dari salah satu identitas kemanusiaannya, yakni keinginan untuk mencari tahu secara kritis. di sisi lain, pendidikan justru diefektifkan untuk menanamkan dogma penguasa kepada rakyat, dogma tersebut diselundupkan lewat kurikulum, sehingga logikanya, semakin cerdas seseorang dalam dunia pendidikan formal maka ia aakan semakin tunduk dan patuh terhadap rezim yang berkuasa, bahkan secara tak sadar mereka dijadikan agen perpanjangan tangan oleh kekuasaan, kondisi ini seolah tak ada bedanya dengan masa kolonial, pendidikan tak lagi berfungsi mencerahkan namun lebih dimaksudkan untuk mengontrol potensi pemberontakan yang ada dalam diri rakyat terjajah di masa itu, mereka yang lulus dari sekolah formal ala Belanda hanya dipersiapkan untuk mendukung agenda kolonial.

ZaEnal Abidin RiAm

Seorang Anak Manusia Yang Iseng Menyenangi Sastra

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline