Credit: sxc.hu (Gerard79)
Sejak dulu, saya tak terlalu paham pemikiran kiri. Tepatnya, tidak tahu dan ‘dikondisikan’ tidak perlu tahu. Yang saya ingat, sekolah dan pemerintah kontinu menakut-nakuti tentang bahaya komunisme dan Partai Komunis Indonesia. Berbagai doktrin dan propaganda mereka lancarkan. Salah satu yang cukup ampuh dan berhasil menembakkan peluru ketakutan dan kebencian di benak saya ialah: Film Pengkhianatan G30SPKI. Dua puluh tahun lalu, pada hari ini – tanggal 30 September – sejak pagi saya sudah ribut membicarakan nanti malam. Sejak 1984, TVRI menayangkan film Pengkhianatan G30SPKI setiap 30 September. Saya lupa pukul berapa film itu tayang. Pukul 20:00? Koreksi saya bila salah. Entah kenapa, saya merasa 'wajib' menyaksikannya lagi. Meski sudah saya tonton lebih dari sekali. Meski saya selalu menonton dengan mata setengah tertutup dan telinga yang seringkali tersumbat telunjuk. Mungkin karena guru saya selalu berpesan, “Nanti malam jangan lupa nonton film G30SPKI.” Horor dan teror. Percaya atau tidak, kesan tersebut masih terasa. Berbagai adegan dominan kekerasan dan kebiadaban dibalut sempurna dengan tata suara mencekam. Sehingga dengan memadamkan volume suara televisi, teror film tersebut bisa berkurang kira-kira 30 persen. Adegan yang paling saya takuti namun paling saya ingat tentu saat penyiksaan para jenderal oleh PKI. Dengan kutipan teranyar, “Darah itu merah, Jenderal!”. Lengkap dengan visualisasi darah di mana-mana. Kemana Pemerhati Anak dan Media saat itu? Kami, anak-anak, dibolehkan bahkan ‘dijerumuskan’ menonton film yang selayaknya diberi rate Dewasa itu. Ah saya lupa, dulu semua diam dibungkam. Dalam film itu, oknum PKI dikonstruksikan sebagai manusia biadab. Bagaimana tidak, saat menyiksa, mereka bahkan masih bisa menari dan tertawa. Belum lagi penggambaran Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia, organisasi wanita PKI) yang terkesan liar dan lacur. Sehingga sampai sekarang, kata “Gerwani” menjadi kata sifat yang bermakna negatif. Potongan-potongan gambar bergerak itu berhasil ‘meracuni’ saya. Menakuti hati dan pikiran. Oiya, di akhir film, mereka berusaha menyelipkan sisi heroik Orde Baru. Tapi gagal karena durasinya hanya secuil, dibandingkan rentetan kesadisan tadi. Sekali lagi, yang tersisa setelah menonton film itu hanyalah kebencian. Pada titik ini, harapan Sang Sutradara, Arifin C. Noer, pupus. Bagaimana dia bisa berharap film tersebut menjadi film pendidikan dan renungan tanpa menawarkan kebencian? Sedangkan dia sudah memampang jelas kebencian dengan memilih kata “Pengkhianatan” sebagai tajuk. Mengapa film yang menghabiskan uang negara Rp800 juta, yang nilainya pada tahun 1984 tentu tidak sedikit, begitu dahsyat menghantui dan meracuni saya? Teori Kultivasi, teori komunikasi ‘usang’ milik George Gerbner, mungkin relevan menjelaskan realitas saat itu. Sederhananya, menurut Gerbner (Griffin, 2006), terpaan media, dalam konteks ini penayangan film Pengkhianatan G30SPKI yang berulang-ulang, bisa memengaruhi penonton. Kekerasan, kebiadaban, dan kengerian yang ditampilkan pada film itu akan dialami penonton jika ditonton dengan intensitas cukup tinggi. Saya menyebut Teori Kultivasi ‘usang’ karena teori ini berlaku pada audiens yang pasif. Audiens yang menelan begitu saja realitas yang ditampilkan media. Audiens yang tidak tahu ‘jahatnya’ media. Audiens yang “pasrah” diracuni. Gawatnya, pada perkembangkan teori ini, terpaan tayangan kekerasan tak hanya berpengaruh pada tataran kognitif dan afektif, namun untuk beberapa kasus bisa berpengaruh hingga tataran konatif atau tindakan. Apakah saya ‘korban’ satu-satunya? Tentu tidak. Tempo, September 2000 silam, membuat jajak pendapat tentang pengaruh film ini kepada 1.110 responden yang merupakan pelajar SMA di Surabaya, Medan, dan Jakarta. Sekitar 69 persen responden berpendapat komunisme adalah paham yang melulu antiagama, 24 persen mengatakan komunisme sangat radikal. Hampir setengah dari mereka (47 persen) percaya komunisme akan bangkit lagi dan berpendapat sebaiknya komunisme tak diajarkan sebagai ilmu pengetahuan. Mereka menambahkan usulan agar buku-buku tentang komunisme juga sebaiknya dilarang beredar. Sebagian besar responden juga percaya adegan yang ada dalam film itu benar-benar terjadi. Mencengangkan? Begitulah. Berita baiknya, angin segar reformasi sedikit meneduhkan kita dari teror film Pengkhianatan G30SPKI. Sejak September 1998, Menteri Penerangan Yunus Yosfiah mengumumkan film tersebut diputuskan tidak ditayangkan atau diedarkan lagi. Alasannya, berbau rekayasa sejarah dan mengkultuskan seorang presiden. Soal kebenaran realitas yang ditampilkan dalam film Pengkhianatan G30SPKI, saya yakin kita semua haus mencari tahu. Berbagai diskusi dan literatur kritis telah ‘lahir’ untuk meluruskan sejarah. Biarlah kebenaran berbicara sendiri. Yang penting, malam ini saya tak perlu waswas lagi.
Selamat Siang Jakarta, semoga tak ada teror malam ini :)
Pondok Gede, 30 September 2013.
-em-
Sumber: A First Look At Communication Theory, EM Griffin, US: McGraw Hill, 2006. http://www.tempo.co/read/news/2012/09/29/078432688/Proses-Arifin-C-Noer-Bikin-Pengkhianatan-G30SPKI http://www.tempo.co/read/news/2012/09/29/078432667/Film-Pengkhianatan-G30SPKI-Propaganda-Berhasilkah *tulisan ini juga tayang di blog pribadi saya >>>en-emy.blogspot.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H