Lihat ke Halaman Asli

Korban Sitok yang Terpojok

Diperbarui: 24 Juni 2015   04:28

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Saat ini, media massa dan media sosial ramai membicarakan kasus dugaan tindak pelecehan seksual Sitok Srengenge terhadap mahasiswi RW. Saya tidak kenal Sitok Srengenge. Mendengar namanya pun tidak pernah. Ya, saya memang kuper dengan dunia sastra. Saya tidak peduli dia dari Komunitas Salihara, yang akrab dengan stereotype islam liberalnya. Bukan pula karena saya seorang aktivis HAM perempuan yang kritis. Saya tertarik mengikuti perkembangan kasus karena empati sesama perempuan yang pernah menjadi korban pelecehan seksual.

Soal cerita versi siapa yang benar, saya tak tahu. Awalnya saya tak mau ikut menghakimi dan sok tahu berkomentar kasus ini. Hingga saya menemukan salah satu komentar di media sosial yang isinya kira-kira begini “Kenapa sudah hamil 7 bulan baru melapor? Selama ini kemana saja?” Membaca komentar itu, saya spontan ‘berteriak’. Kalian pikir mudah menceritakan pelecehan seksual? Komentar tersebut jelas memojokkan korban.

Tidak semua orang bisa berempati dengan korban pelecehan seksual, hingga ia mengalaminya sendiri. Saya pernah dilecehkan saat kelas 4 SD. Pengendara motor tak dikenal menyentuh payudara saya ketika saya berjalan kaki di jalan raya dekat rumah. Kejadiannya hanya satu detik, karena pelaku langsung kabur dengan motornya. Untuk pelecehan seksual yang sepertinya terlihat ‘sepele’ itu saja, saya baru bisa menceritakan saat kuliah. DELAPAN TAHUN setelah kejadian. Kenapa? Trauma yang dialami akibat pelecehan seksual itu luar biasa. Marah karena tidak bisa berbuat apa-apa. Malu dan merasa ‘kotor’ karena telah dijamah. Bingung harus mengadu pada siapa.

Bandingkan dengan kasus RW yang sampai hamil. Saya bisa membayangkan betapa berat trauma yang dia alami. Dihamili oleh pacar yang sudah jelas-jelas akan menikahi saja, seorang perempuan pasti malu luar biasa. Apalagi kalau kehamilannya karena diperkosa?! Mau melapor, pikir sejuta kali. Bisa-bisa malah dituduh jadi wanita penggoda dan perusak rumah tangga orang lain. Bagaimana menghadapi keluarga dan lingkungan sekitar? Bagaimana nasib janin yang dikandungnya? Kalau perutnya tak semakin membuncit, RW mungkin akan bungkam seperti saya. Beruntung RW punya support system. Dia akhirnya berani memunculkan kasus ini ke permukaan.

Pada kasus pelecehan seksual yang dialami perempuan, korban sering kali disalahkan dengan berbagai alasan seperti “Salah sendiri kenapa pakai rok mini?!” atau “Nggak mungkin sampai hamil kalau tidak mau sama mau?” Lalu, apa salah saya, yang ketika kejadian, dada saya bahkan belum tumbuh layaknya perempuan dewasa dan tentu saja saya mengenakan baju layaknya anak kecil? Apa salah RW yang ‘terpaksa melayani’ karena diduga terintimidasi oleh pelaku? Mental abuse itu jahatnya luar biasa loh. Bikin korban tak berdaya.

‘Korban’ lain yang ikut terpojok dari perbuatan Sitok tentu keluarganya sendiri. Sitok beruntung punya anak dan istri yang kelihatannya legowo. Setidaknya itu bisa dilihat dari surat terbuka yang dibuat putri Sitok. Seandainya saya berada di posisinya, saat ini pasti saya sedang kecewa berat atau mungkin benci dan dendam karena ayah saya melakukan pelecehan seksual dan terlebih lagi telah tega mengkhianati ibu. Saya salut dengan kedewasaan dan kebijakan seorang Laire yang tetap mendukung ayahnya. Tapi hal itu tidak mengubah pandangan saya terhadap perbuatan Sitok. Harusnya Sitok berpikir seribu kali bahwa tindakannya itu akan membuat malu dan kecewa anak dan keluarganya. Dan yang lebih penting lagi, seharusnya dia berpikir bahwa tindakannya itu merusak hidup dan masa depan orang lain: Korban.

Sekali lagi, sebagai sesama korban pelecehan seksual, saya berempati dan secara moral mendukung upaya RW menyelesaikan kasus ini hingga tersangka (bila terbukti bersalah) dihukum.

Pondok Gede, 1 Desember 2013,

Em.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline