Lihat ke Halaman Asli

Elkana

Freelancer Konsultan Tata Kelola Lingkungan Hidup, kompeten sebagai Penyusun Amdal lulusan PSLH UGM. Aktifis organisasi di lingkungan Nahdlatul Ulama', Ketua LESBUMI PCNU Kabupaten Grobogan.

Menyesal Jadi Orang Baik

Diperbarui: 30 Juni 2024   19:59

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Menjadi orang baik yang dengan kebaikannya bermanfaat untuk sesama makhluk menjadi cita-cita dan harapan semua orang. Ajaran perilaku budaya dan agama pasti mengarahkan hidup untuk baik, bahkan sejak kecil seorang anak selalu dituntun untuk bercita-cita menjadi sosok yang baik, yang diharapkan dengan sosok baik tersebut ia berguna dan bermanfaat untuk sesama.

Orang baik tentu akan disukai, dicintai oleh makhluk lain, bahkan menjadi idola dan panutan. Sebut saja sosok para Nabi yang menjadi panutan pengikut agama samawi, para pemimpin dunia semacam Mahatma Gandhi, John F Kennedy, Presiden Soekarno, Gus Dur, dan banyak sekali tokoh-tokoh yang karena kebaikan hidupnya ia menjadi idola dan panutan. Untuk menjadi baik, seseorang pasti telah memenuhi prasyarat yang secara umum diterima dan diakui oleh ajaran nilai-nilai, budaya, agama, adat istiadat dan ilmu pengetahuan. Gus Dur, siapapun akan menilai ia orang baik, tidak hanya di kalangan orang Islam saja. Gus Dur dinilai sebagai pribadi yang baik oleh hampir semua kalangan, lintas organisasi, lintas agama, lintas negara, bahkan lintas generasi. ia dianggap baik, karena perilakunya baik, pikirannya baik, perjuangannya baik, dan mampu menginspirasi bahkan mengobarkan sebuah gerakan.

Ukuran orang baik dengan cakupan tertentu tidak harus sesempurna kebaikan para tokoh atau nabi. Di lingkungan masyarakat dengan skala kampung, orang baik akan muncul dengan beberapa hal saja. Jika ia tidak suka mengganggu orang, suka menolong, tidak sombong, rajin ke musholla untuk salat berjamaah, ia sudah memenuhi kriteria sebagai orang baik dan biasanya ditempatkan sebagai tokoh masyarakat. Pada cakupan masyarakat yang lebih terbatas, misalnya Warga Binaan (Narapidana) di Lembaga Pemasyarakatan, disini ukuran menjadi orang baik sangatlah murah dan mudah. Ia tidak harus selengkap tokoh kampung. Setara dengan 60% menyerupai tokoh kampung,  di sebuah Lembaga Pemasyarakatan (sebutan lain untuk para terpidana yang ditampung di Rumah Tahanan) seseorang pasti sudah dianggap baik bahkan sangat baik.

Baik dan buruk bergantung pada ruang lingkup, agama, nilai-nilai sosial, adat istiadat, dan budaya masyarakat. Dari sini ketertokohan seseorang, baik atau buruk seseorang menjadi tidak sama kualitas dan bobotnya.

Saya berada pada lingkungan sosial terbatas di sebuah Lembaga Pemasyarakatan, saya berani menyatakan diri sebagai orang baik. Orang baik diantara orang-orang yang diberi label “tidak baik” menurut ukuran dan kadar nilai, norma, dan aturan. Semua penghuni Lembaga Pemasyarakatan adalah mereka yang secara hukum formal telah dinyatakan bersalah dan sah melanggar hukum, sekalipun faktanya banyak diantara mereka yang harus berada di sana karena ketidakberuntungan atau kalah dalam pertarungan. Saya termasuk sosok yang memenuhi kriteria orang baik, karena sebagai orang Islam masih menjalankan salat, diberi tugas memimpin kegiatan ngaji bersama dan konseling untuk para penghuni, masih sering menolong sesama penghuni, sering dimintai nasehat dan tidak punya musuh. Sekadar syarat ini, saya sudah dianggap sebagai orang baik, sekalipun masih melakukan totohan (taruhan uang) ketika main volley, main catur, main tennis, main badminton, dll. Dalam pergaulan belum bisa menjaga mulut untuk tidak misuh, membentak, atau melontarkan kata kotor di hadapan orang banyak. Saya masih dianggap orang baik. Jelas disini ukuran nilainya sangat berbeda dengan ukuruan kepatutan di dunia luar.

Kehidupan di lingkungan Lembaga Pemasyarakatan adalah keterpaksaan. Semua penghuni dipaksa untuk menjalani hidup dengan keterbatasan, semua dibatasi. Keterbatasan yang tentu saja melawan kodrat manusiawi yang “bebas”. Inilah pangkal masalahnya, ternyata menjadi orang baik di lingkungan yang “tidak baik” terkadang menjadi beban. Sekalipun untuk sekedar totohan atau misuh-misuh, atau bahkan tidak salat dianggap “bukan apa-apa” tetapi untuk perilaku yang tabu dan tidak senonoh masih menjadi ukuran.

Karena saya orang baik, maka ditempatkan di kamar tahanan yang tidak dikunci 24 jam, diberi tugas khusus untuk menjaga kantin yang berada di lingkungan Lembaga Pemasyarakatan. Kebebasan terbatas ini terkadang menjadi “agak bebas”, karena sepanjang waktu bisa berkeliaran di luar kamar. Tidak jarang karena kedekatan dan kepercayaan dari Petugas Jaga, saya diberi tugas untuk mengecek sebuah blok yang berisi Warga Binaan Wanita, dibekali kunci dan tanpa pengawasan khusus dari petugas bisa dengan leluasa masuk ke ruangan blok yang berisi para wanita di malam hari. Anda bisa membanyangkan sendiri betapa naluri dasar manusia bergejolak disana. Ada saya, pria kesepian, ada wanita-wanita yang juga kesepian. Sebagai salah satu penghuni yang “sedikit punya kelas” dengan perkara hukum yang tidak biasa, tampang lumayan, dan dihitung punya uang, para wanita itu biasa sangat heboh dengan kehadiran saya. Ah, disitulah terkadang saya menyesal dianggap sebagai orang baik, karena untuk sekedar menggoda atau nepuk tubuh para wanita itu saya nggak mempunyai keberanian. Padahal basic instinc­ meronta. Ketidakberanian itu, jujur bukan karena takut pada Tuhan, tetapi ketakutan akan akibat rusaknya “reputasi orang baik” semata.

Sejatinya menjadi orang baik haruslah tetap dijaga, jika terhadap penilaian manusia saja sudah ketakutan, apalagi terhadap Tuhannya. Bukankah seharusnya memang seperti itu?

Ngangkruk, 20 Juni 2024




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline