Dulu ketika penulis masih sekolah dasar setiap hari selalu dibekali PR (pekerjaan rumah) oleh guru, PR ini kemudian dikerjakan bareng bareng bersama teman istilahnya adalah kerja kelompok. PR dikerjakan bersama, siapa diantara teman yang tidak faham kemudian dijelaskan kembali oleh teman yang faham. Itulah salah satu asyiknya mengerjakan PR.
Ketika tidak mengerjakan PR ada rasa takut yang menghantui, takut dimarahi takut dihukum, akhirnya semalas apapun tugas itu pasti dikerjakan, dan ini bagian dari menunaikan amanah guru. Bagaimana dengan anak sekolah jaman sekarang?
Pengalaman penulis mendampingi anak sendiri ketika ada PR, harus selalu diingatkan jika tidak diingatkan PR tidak dikerjakan atau bahkan nyontek hasil temannya di sekolah. Anak sekarang terlalu sibuk dengan gadget dan menyepelekan pekerjaan rumah yang ditugaskan gurunya.
Dewasa ini PR siswa tidak lagi tranding seperti dahulu meski masih banyak beberapa guru yang memberikan tugas PR kepada siswanya.
Konon katanya Pekerjaan Rumah adalah program kegagalan guru dalam mengajar, karena sebelum guru mengajar guru sudah membuat Rencana Pelaksanaan Pembelajaran yang didalamnya memuat materi ajar, waktu pelaksanaan, metode pembelajaran, alat bantu dan alat peraga pembelajaran dan lain-lain. Yang harus terencana, terukur, terlaksana dan terlaporkan.
Artinya RPP itu harus paripurna dalam waktu proses belajar mengajar di sekolah. Di luar sekolah anak dapat lebih mengembangkan bakat dan minatnya juga digunakan anak untuk membina komunikasi dalam sosialisasi dan bermasyarakat di lingkungannya.
Penulis membaca dari lamanya ucokmedia.com bahwa Dinas Pendidikan di Surabaya akan membebaskan pekerjaan rumah atau PR kepada siswa SD dan SMP. Bebas PR ini akan diterapkan untuk mengurangi beban tugas kepada pelajar SD dan SMP. Sehingga waktu belajar anak hanya di sekolah saja.
Kebijaksanaan ini tentu mengundang beragam respon para orangtua atau wali murid, ada yang setuju banyak juga tidak setuju. Yang setuju beralasan karena PR membebani anak. Karena yang terpenting adalah pertumbuhan karakter anak.
Yang tidak setuju beralasan anak di rumah lebih banyak main. Biasanya di rumah anak susah disuruh belajar ketika dikasih PR ada alasan anak untuk belajar dan tidak sibuk dikamar maen gadget terus. Karena gadget bagi anak banyak negatifnya ketimbang positifnya.
Penulis sendiri masih berharap siswa tetap dikasih pekerjaan rumah, bukan kah pekerjaan rumah juga bagian dari pembentukan karakter? Siswa diamanati untuk mengerjakan tugas di rumah, jika dikerjakan berarti siswanya amanah menunaikan kewajibannya. Toh mengerjakan pekerjaan rumah tidak sampai memakan waktu lebih dari satu jam.