Berapa banyak perdebatan yang kita baca, dengar, tonton setiap hari? Mungkin ada belasan, puluhan, bahkan ratusan. Dan biasanya, sehabis membaca, mendengar atau menonton perdebatan itu, kita mengumpat. Menambah dosa. Bahkan sampai ada yang stres. Atau bisa jadi, kita melanjutkan perdebatan dengan teman.
Nah, perdebatan dengan teman belakangan ini (kebanyakan) semakin tidak berguna. Pasalnya, kebanyakan dari kita menderita syndrome merasa benar sendiri. Atau mungkin, karena zaman ini kita lebih percaya pada apa yang ingin kita percaya daripada fakta sebenarnya. Oleh sebab itu, gak ada gunanya ngotot. Santai saja. Dan jangan lupa tertawa. Ingat, sebelum perdebatan menjurus ke pertengkaran, ada baiknya dihentikan.
Masih belum puas? Mulailah menulis. Tumpahkan semua di atas layar. Kalau masih belum puas, tumpahkan di atas kertas. Sebab pernah saya baca, menulis di atas kertas lebih berpengaruh pada kondisi psikis daripada mengetik di komputer/laptop.
Pengalaman pribadi saya, ide atau gagasan yang sama yang ingin saya sampaikan saat berdebat, bisa saja menemui jalan buntu ketika akan dituliskan. Dengan kata lain, ternyata ide atau gagasan saya itu kurang tepat atau bisa jadi salah.
Kenapa bisa demikian? Setelah berpikir lama, jawabannya mungkin karena saat menulis kita lebih banyak memberi waktu untuk berpikir dan merenung. Sementara bila berdebat, kita lebih mengutamakan emosi. Ingin cepat membantah pernyataan lawan, atau buru-buru ingin mengalahkannya.
Daripada menyesal kemudian karena pertemanan rusak atau makin banyak musuh, ada baiknya mundur sejenak dari perdebatan dan mulai menuliskan ide atau gagasan yang hendak kita sampaikan.
Menulis juga melatih cara berpikir kita. Berpikir menjadi lebih teratur, dan ide menjadi lebih jernih. Saat akan menulis, kita akan dihadapkan pada pilihan-pilihan teori yang telah ada. Dengan demikian, kita terpaksa membaca lagi, kemudian membandingkan ide atau gagasan kita itu dengan yang sebelumnya.
Aktivitas ini menurut saya lebih baik daripada debat kusir. Bahkan sebelum menulis, kita akan merasakan sensasi luar biasa. Karena saat akan memulai, kata-kata memenuhi kepala. Bila tak segera menuliskan, atau sibuk memilih kata pembuka, bisa-bisa kepala serasa pecah. Kondisi ini akan melatih kita memilih dengan cepat dan tepat.
Bila jujur pada diri sendiri, inilah saat yang tepat untuk belajar. Menengok lebih dalam ke diri kita. Dan menyadari, ternyata kita belum ada apa-apa. Semuanya hanya membuang waktu bila berdebat hanya menghasilkan pertengkaran.
Sebagai kalimat penutup, saya mengajak seluruh pembaca untuk mulai mengenali saat yang tepat untuk menghentikan debat. Percayalah, hidup pasti akan lebih ringan. Dan kita akan lebih produktif dalam hal lain. Biar debatnya gak percuma, coba tuliskan hasil debat itu. Bisa dalam bentuk artikel, puisi, atau cerpen. Tulisan itu akan terdokumentasi. Seperti kata pepatah lama, "Yang terucap terbang bersama angin, yang tertulis abadi."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H