Lihat ke Halaman Asli

Elesia

I'm a writer

Andai Kita Disatukan, Tidak Diduakan (6)

Diperbarui: 5 Mei 2018   22:48

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

sumber foto : flickr.com

Sudah lebih dari dua minggu. Ryan belum juga melapor untuk melakukan cek darah. Sindi juga tidak terlalu memperdulikan itu, karena ia memang merasa lebih baik Ryan yang menghindar dibanding dirinya. Ia juga canggung untuk bertemu dengannya lagi. Tiba-tiba William menghubungi Sindi, menyuruhnya untuk datang ke rumah.
Sindi : (Senyum) Ngapain?
William : Oleh-oleh ini aku kasih ke orang lain saja, atau gimana? (canda)
Sindi : (Menepuk dahinya) Oh ia, aku baru ingat!
William : Tumben. Kau sepertinya akhir-akhir ini sering lupa. Jangan terlalu keras pada dirimu sendiri, Sin! Ambil beberapa hari untuk istirahat, refreshing.
Sindi : Tak enak refreshing sendirian
William : Mau ditemani?
Sindi : Emm...
William : Mau nggak? Aku free weekend ini. Mia sedang sibuk mengurus pekerjaan yang tertunda karena cuti nikah kemarin.
Sindi      : (Tersentak bahagia) Oke deh kalau begitu.
William  : Baiklah. Tentukan kita mau kemana ya. Tapi pergi pagi pulang malam.
Sindi      : Yah.. nggak asik donk. Cape-capein badan saja!
William  : Yah, nggak mungkin kan aku ninggalin Mia sendirian di rumah. Mau nggak? Atau kita pergi bareng dengan ibu dan bapak?
Sindi      : Kita dua saja. Nanti ibu marah lagi kalau aku minjam kamu buat jalan-jalan.
William  : Kamu lebih takut sama ibu atau Mia? (Canda). Baiklah kalau begitu, hubungi aku nanti kalau sudah pasti.

Sindi dan William akhirnya pergi bertamasya bersama. William mendapat izin dari Mia yang kebetulan pada hari sabtu juga masuk kerja.
William  : Kenapa harus ke daerah perkemahan?
Sindi      : Aku ingin melihat pohon-pohon.
William  : (Melihatnya sebentar kemudian kembali fokus menyetir) Matamu kambuh lagi?
Sindi      : (Menggeleng) Aku hanya ingin melihat pemandangan hijau. Pemandangan biru seperti pantai hanya menggagalkanku move on!
William  : Hah! Apa kau..
Sindi      : (Meliriknya dari ujung mata kanannya) Dicampakkan.
William  : Kok bisa? Siapa pria bodoh yang mencampakkan adikku yang sempurna ini?
Sindi      : (Mengangguk-angguk perlahan) Ya. Dia memang bodoh.
William  : Kau yang duluan menyatakan cinta?
Sindi      : (Diam)
William  : Astaga, kau benar-benar menyatakannya duluan. Kan sudah kuajari Sindi, jangan perempuan yang dahulu menyatakan perasaan.
Sindi      : (Menggeleng) aku masih mengingat kalimat itu dan melaksanakannya.
William  : Lah jadi, kenapa kau bilang dicampakkan?
Sindi      : Karena sudah ada wanita lain di dalam hidupnya.
William  : Yah. Jadi kau mau nunggu mereka putus nih?
Sindi      : Bukan putus tapi cerai.
William  : Astaga. Mereka sudah menikah?
Sindi      : Hmm
William  : (Diam)
Sindi      : Gimana menurutmu, Wil?
William  : Berat juga Sin. Kalau aku diposisimu, aku akan menikmati cinta itu sendiri tanpa mengganggu kehidupan mereka.
Sindi      : Kau pun menyuruhku mundur?
William  : Apa ada orang lain yang tahu tentang ini?
Sindi      : Hmm (lemas).
William  : (Menepikan mobilnya) Aku tidak menyuruhmu mundur. Tapi aku memperingatimu untuk tidak menghancurkan pernikahan orang lain. Ingat karma Sin..
Sindi      : Kau juga berpikir aku akan melakukan hal seperti itu? (Berbinar)
William  : Bukan begitu Sin. (memutar tubuhnya 90 derajat menghadap Sindi) Aku juga ingin kau bahagia Sin. Bahagia yang kuharapkan tanpa melukai siapapun atau sengaja menyakiti untuk memiliki.
Sindi      : (Menyisir rambut dengan jemari tangannya dan berakhir dengan menarik rambutnya sekali)
William  : Kepalamu sakit? Jangan terlalu ditahan, nanti sakitmu yang dulu kambuh lagi.

Sindi pernah beberapa kali sakit kepala tak tertahankan hingga beberapa kali menghantuk-hantukkan kepalanya ke dinding. Ia dirawat beberapa kali di rumah sakit atas vonis geger otak ringan. Itu terjadi setelah ia menginjak usia remaja, saat beberapa teman-temannya selalu menceritakan tentang dirinya yang 'ditinggalkan keluarga dan di pungut oleh tetangga'. Karena perasaan takut Sindi akan menyakiti dirinya lagi, William dan keluarga membawanya ke bagian dokter yang menangani psikologis anak. Butuh satu tahun hingga akhirnya Sindi sembuh total total tapi tidak permanen.
Sindi      : (Diam)
William  : Apa kau sudah lama menahan ini semua?
Sindi      : (Mengangguk)
William  : Kenapa kau tidak berbagi cerita dengan ku?
Sindi      : Karena kau akan menjauhiku.
William  : Ya 'tak mungkinlah. Coba sebutkan alasan utama kau menyukai pria itu?
Sindi      : Aku nyaman berada disampingnya.
William  : Sudah berapa lama kau menyukainya?      
Sindi      : (Menatapnya dengan mata berkaca-kaca) Sudah lama, lamaaa sekali.
William  : (Menggangguk-angguk) Jadi kau tak ingin berbagi nama pria itu denganku? (nada pelan, hati-hati)
Sindi      : (Menatapnya lama)
William  : Baiklah kalau kau tidak mau. Aku tidak bisa memaksamu.
Sindi      : Kau yakin ingin tahu namanya siapa?
William  : Tentu saja. Pria itu sangat beruntung dicintai si Sindi kami ini. (Mengelus dahi Sindi)
Sindi      : William
William  : Hmm?
Sindi      : Namanya William (Menatap lurus kedepan).
William  : Wah namanya sama seperti namaku. (Terseyum)
Sindi      : Nama lengkapnya, William Sandoro (Tidak berani melihat ekspresi William)
William  : (Diam)
Sindi      : (Diam)


William tidak berkata apa-apa. Ia menatap Sindi begitu lama, mengamati ekspresi wajahnya.
William  : (Mengatur posisinya kembali lurus menatap ke depan)
Sindi      : Kau sudah berjanji tidak akan menjauhiku.
William  : (Mengusap wajahnya) Apakah aku bisa menebak sesuatu?
Sindi      : Tapi kau tidak suka menebak-nebak.
William  : (Tidak menghiraukan jawaban Sindi) Apa karena itu kau sangat tidak menyukai Mia?
Sindi      : (Diam)
William  : (Memutar mobilnya) Kita harus pulang.
Sindi      : (Tidak menjawab. Melemparkan pandangannya ke kaca sebelah, dan ia melihat bayangannya yang sudah bercucuran air mata tanpa suara)

 William mengantar Sindi pulang ke rumah orangtua mereka tanpa masuk ke dalam menyapa mereka. Ia langsung banting stir kembali pulang, sesaat setelah Sindi menutup pintu mobil.
Mia        : Loh.. kok cepat pulangnya sayang?
William  : Loh, kok kamu sudah dirumah?
Mia        : Hari ini hanya setengah hari sayang. Kamu sudah makan siang?
William  : (Menggangguk -- berbohong) Aku istirahat dulu ya. Kepalaku pusing.
Mia        : (Mengangguk)  Baiklah. Nanti aku siapkan teh jahe setelah kamu bangun ya.
William : (Tidak menjawab)

Saat William bangun, ia tidak mendapati Mia di rumah. Sesaat kemudian ia menerima pesan dari Mia menyatakan bahwa ia ke rumah sakit karena mendapat kabar dari Sindi bahwa Ryan sedang sekarat. Membaca Pesan itu seketika emosinya meradang, ia berpikir bahwa Sindi benar-benar sedang berusaha memisahkan mereka.  

 

William  : Mia!
Mia        : Oh.. sayang, kamu disini?
William  : Hmm
Mia        : (Menangkap ekspresi aneh suaminya)

 

Mia menandatangani beberapa dokumen yang ada di depannya. Kemudian menyerahkan ke perawat yang sudah menunggunya sambil berdiri.
William  : Apa itu?
Perawat : Surat untuk wali Pak.
William  : Wali untuk Ryan
Perawat : Ia Pak. (berlalu meninggalkan mereka)
William  : (mencegat perawat) Kenapa harus Mia yang menandatangani surat itu? (menatap Mia)
Perawat : Hmm.. saya kurang tahu Pak. Saya hanya diperintahkan oleh Dr. Sindi.
William  : (Mengangguk perlahan -- menahan emosi)
Mia        : Kenapa sayang? Apa kau keberatan?
William  : Apa gunanya semua itu, toh juga berkas itu sudah kau tandatangani.
Mia        : Will? (Merasa aneh William seperti tidak biasanya)
William  : Dimana Sindi?
Mia        : Adik ipar sedang memeriksa Ryan.
William  : (Menarik nafasnya panjang) Apa dia yang memaksamu datang kesini?
Mia        : (Menggeleng) Adik ipar hanya mengirimkanku pesan agar mengirim nomor keluarga Ryan yang bisa dihubungi untuk menandatangi beberapa berkas. Karena memang tidak ada yang bisa dihubungi, jadi aku menyarankan diriku sendiri yang jadi walinya. Tidak ada paksaan.
William  : Kau menyarankan dirimu sendiri? Atas dasar apa?
Mia        : Wil.. Kau kenapa sayang?
William  : (Menarik nafas panjang -- menghembuskannya -- kemudian beranjak dari tempatnya menuju ruangan Sindi)
Mia        : (Mengikutinya dari belakang)

Tidak sampai satu menit menunggu akhirnya Sindi masuk ke dalam ruangannya dan terkejut menemukan William bersama dengan Mia ada di dalam ruangannya.
Mia        : Bagaimana adik ipar? Apakah Ryan baik-baik saja?
Sindi      : (Mengangguk -- sambil meneguk air mineralnya) Semuanya bisa diatasi.
Mia        : Kenapa bisa tiba-tiba seperti ini? Padahal dia semangat untuk sembuh.
Sindi      : (Menatap William) Entahlah. Dia tidak datang untuk kemoterapi selama dua minggu.
William  : Coba jelaskan padaku kenapa kau menghubungi Mia sebagai wali Ryan?
Sindi      : (Menatapnya heran, berpikir bahwa William sedang mencurigainya)
Mia        : Wil? Kau kenapa sih sayang. Kan aku sudah jelaskan tadi!
William  : Aku mau dengar langsung dari Sindi, Mia!
Mia        : (Menatap Sindi dan William bergantian) Sepertinya kalian sedang ada masalah pribadi?
Sindi      : (Tidak menjawab)
William  : (Mengabaikan Mia) Jawab, Sin!
Sindi      : (Terkejut melihat William yang tampak emosi. Pertama kalinya melihat William dengan ekspresi seperti itu).
Mia        : Sayanggg... (Mendekati William)
Sindi      : Aku hanya panik karena Ryan setengah sekarat dibawa kerumah sakit. Jadi aku tidak bisa menghubungi siapapun yang bisa jadi walinya.
William  : Jadi kau menelepon Mia?
Sindi      : Aku tidak bermaksud lain.
William  : Kenapa kau pikir kalau aku berpikir demikian?
Sindi      : (Diam -- matanya mulai berkaca-kaca dengan ekspresi wajah lelah)
Mia        : William!! (Setengah berteriak) Kau kenapa?
William  : (Tersadar)
Mia        : Apa itu alasanmu datang ke sini? Untuk memarahi Sindi dan mempertanyakan semua ini? Apa jawabanku tidak cukup? Kau ingin Sindi menjawab sesuai dengan yang kau pikirkan, agar kau puas?
Sindi      : (Tertunduk -- batinnya tersiksa karena kali ini ia memang tidak bermaksud lain, tapi ia merasa di tuduh karena pengakuan yang lalu kepada William)
William  : Kau tidak tahu apa-apa, sayang. (Nada menurun)
Mia        : Kalau begitu katakan padaku apa yang tidak aku tahu itu, sekarang!
William  : (Mengusap wajahnya)
Mia        : Cepat katakan (Mia emosi sendiri karena intonasi William selalu meninggi)
William  : Ayo kita pulang. Kita bicara di rumah saja.
Sindi      : Will..
Mia        : Kenapa harus di rumah?
Sindi      : Will, jangan lakukan itu! Aku benar-benar tidak bermaksud lain.
Mia        : Kalian kenapa sih?
William  : (Pikirannya masih kacau) Kenapa? Kau takut?
Mia        : Sudahlah, katakan saja disini. Kita sedang dalam kondisi tidak tenang sekarang, Ryan disana sedang terbaring lemas dan kalian sedang tidak waras disini.
William : Oke, aku katakan sekarang. Sindi berniat merusak hubungan kita dengan memanfaatkan hubunganmu yang dulu dengan Ryan.
Mia        : (Diam)
Sindi      : Sudahlah Will. Aku khilaf. (memegang tangan William)
William : (Menghentakkan tangan Sindi sambil menunjuknya) Dan dia sengaja meneleponmu agar kau semakin dekat dengan Ryan. Dia menyukaiku Mia! Selama ini dia memanfaatkan kita semua! (Nada meninggi)
Mia        : Trus?
William : Ya dia selama ini berencana..
Mia        : Turunkan nada suaramu, Will!

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline