Lihat ke Halaman Asli

Muhammad Syawal Djamil

Penikmat Kopi Sanger.

Perkembangan Demokrasi Kita Belum Sebangun dengan Usia Kemerdekaan

Diperbarui: 26 Mei 2019   17:45

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

PROSES pesta demokrasi pada bangsa kita kali ini ternyata membawa tragedi yang tak berkesudahan. Khususnya pasca pemilihan tanggal 17 April lalu, diawali oleh para petugas KPPS yang berjatuhan sakit hingga meninggal dunia. Jumlahnya pun tak tanggung-tanggung. Yang meninggal dunia tercatat hampir menyentuh angka 700an orang, sedangkan yang sakit dan dalam perawatan terhitung mencapai angka ribuan. Makanya, tak heran jika petaka pada perhelatan pesta demokrasi kali ini memunculkan sejumlah tanda tanya.

Adanya kalangan yang menuntut untuk dilakukan otopsi terhadap petugas yang sudah meninggal dunia, tentunya patut didukung. Ini mengingat opini yang muncul pada masyarakat terhadap penyebab kematiannya, dan juga untuk menghindari kecurigaan yang macam-macam terhadap  pemerintah yang sedang berkuasa. Meskipun kita tahu, dan menjadi keanehannya, pemerintah seakan bergeming terhadap kenyataan tersebut. Sehingga, sampai dengan hari ini --mungkin sampai besok atau lusa, pemerintah belum memperlihatkan upaya untuk menyelesaikan keresahan masyarakat pada kasus yang satu itu.

Makanya, yakin saya, people power yang berhasil menarik simpati sebahagian masyarakat di Tanah Air ini tak lain salah satunya disebabkan oleh akumulasi keresahan dan kecurigaan terhadap pihak pemerintah yang berkuasa.

Padahal, tak sedikit juga yang mengakui, jika people power tersebut bukanlah solusi yang tepat untuk mengatasi problema politik dewasa ini. Tersebab oleh impas people power itu sendiri yang sukar terprediksi. Mulai dari pengaruh terhadap psikologi masyarakat hingga menjatuhkan korban jiwa.

Dan, buktinya, people power yang sudah sejak 22 Mei itu berlangsung sudah melahirkan banyak korban, baik korban harta maupun korban jiwa. Bahkan, yang cukup miris, anak kecil pun ikut menerima efek dari gerakan itu. Sebut saja, adinda M. Reyhan Fajari (16 Tahun), anak malang itu harus menerima keganasan dari efek people power yang direspon secara represif oleh pihak pemerintah. Hingga --sebagaimana disebut oleh banyak media-- pelipis matanya robek diterjang peluru panas.

Kita tidak sanggup membayangkan, jika usia kemerdekaan negara Indonesia yang hampir seabad ini belum sebangun dengan perkembangan iklim demokrasi. Demokrasi kita, kalau mau diibaratkan pada seorang anak, ia masih pada tahap menuju baligh; belum dewasa. 

Semoga saja, petaka pada pesta demokrasi cepat berakhir. Dan kita dapat merasakan hari kemenangan (idul fitri) dengan suasana yang kondisif, tidak hanya lingkungan yang kondusif, tapi juga alam pikiran kita. Nyanban

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline