Lihat ke Halaman Asli

Buruh Pemain Bola

Diperbarui: 24 Juni 2015   14:15

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Olahraga. Sumber ilustrasi: FREEPIK

Bingung, diantara syukur dan prihatin. Di tengah karut marut sepak bola nasional yang masih berlanjut, Indonesia tetap mampu menjadi magnet bagi pelatih dan pemain asing untuk mengadu nasibnya. Banyak yang kerasan, tak sedikit yang bermimpi untuk menetap terus di negeri ini. Naturalisasi contoh konkretnya.

Kabar buruk, wasit penuh darah dihajar pemain, penunggakan gaji pemain yang selalu terjadi tidak menyurutkan talenta luar negeri menyemarakkan sepak bola Indonesia, tetap berbondong-bondong datang. Duit penting, tapi factor yang membuat mereka ketagihan adalah atmosfer penontonnya, yang secara magic bisa menyuntikkan energy luar biasa bagi pemain bola di lapangan.

Sayang sekali, otoritas sepak bola nasional masih sibuk sendiri. Pemain dan penonton sering hanya dijadikan obyek kepentingan sesaat oleh segelintir orang. Pemain yang menjadi aset terbesar dalam sepak bola begitu disepelekan oleh stakeholder yang berkuasa. Dianggap pupuk bawang atau pelengkap saja, padahal seharusnya pemain dan penonton punya daya tawar tinggi. Tidak ada mereka, selesai sepak bola.



Khusus keberadaan Asosiasi Pemain Profesional Indonesia (APPI) sejak 2008 menginduk kepada FIFAPro patut diapresiasi. Sebangsa wadah serikat pekerja. Langkah besar harus diawali dengan langkah setapak. Sosialisasi dan edukasi pemain kelihatan mulai bergairah, Bambang Pamungkas sebagai wakil ketua APPI yang mulai vokal dan berani.

APPI berdiri untuk memberikan edukasi, informasi mengenai hak-hak sebagai pesepakbola, sebuah asosiasi yang akan memberikan kepada pemain perlindungan jika hak mereka dilanggar, memperjuangkan kesejahteraan semua pemain bola tanpa sekat.

Pemain bola bisa dikatakan adalah buruh, outsourching atau tenaga kontrak, yang di kalangan buruh itu adalah kata yang menakutkan, posisi lemah dan rentan diputus sepihak tanpa alasan yang kuat. Contoh actual betapa kagetnya 5 pemain Sriwijaya FC tiba-tiba diputus kontraknya di tengah kompetisi, mereka hanya bisa menerima dengan lapang dada dan berharap semua haknya bisa dipenuhi oleh Sriwijaya FC secepatnya tanpa janji dan diulu-ulur.

Surat kontrak menjadi pintu yang kuat bagi pemain dengan klubnya, bukti empiris yang seharusnya dicermati secara serius. Tapi prakteknya, sebagian pesepakbola Indonesia sudah merasa terlalu nyaman ijab kobul sebatas lisan, masih menganggap remeh isi perjanjian kontrak dengan klub, tidak tahu isi kontraknya secara jelas. Bahkan banyak yang tidak memegang salinan kontrak. Kondisi tersebut dapat membuat  klub bertindak sewenang-wenang kepada pemain, pemain cidera dibiarkan ditelantarkan saja, proteksi klub kepada pemain minim. Gaji tak dibayar sampai ajal tiba biasa saja tak merasa berdosa. Habis manis sepah dibuang.

Pemain harus sadar, idealnya kontrak minimal durasi dua tahun kompetisi, kontrak jangka pendek di Indonesia sering mengganggu psikologis pemain, konsentrasi pemain kerap terganggu, membuat pemain tak bisa bermain dengan maksimal lantaran pikiran mereka yang terganggu dengan kepastian masa depan mereka bersama klub yang tengah dibelanya.

Kontrak juga sangat penting agar nasib pemain bola bisa dipertanggungjawabkan, ketika ada hal yang tidak berjalan sebagaimana seharusnya, harus mengerti betul isi kontrak yang disodorkan klub kepada mereka, agar pemain tidak merasa dirugikan atau bahkan tidak diperhatikan sama sekali. Mempunyai bukti hukum kuat untuk menunutnya.

Selama ini pemain banyak yang bermain aman, tidak cerewet, nrimo dan pasrah saja ketika diputus kontraknya oleh klub dengan alasan yang abu-abu. Pemain lemah daya tawarnya, posisinya selalu salah dan kalah. Sering klub di Indonesia bertindak semena-mena kepada pemain dan memaksakan kehendak ketika merumuskan masalah kontrak.

Surat kontrak pemain hanya salah satu PR besar buat APPI, masih ada seribu satu masalah yang perlu diurai satu persatu dibawah komando Ponaryo Astaman, yang kebetulan satu klub dengan  Aliyuddin, Taufik Kasrun, M Fachrudin, Imanuel Padwa, dan Sultan Samma yang baru saja kehilangan pemasukan untuk asap dapur mereka. APPI semoga cepat bisa menciptakan sepak bola yang manusiawai, bukan perbudakan gaya baru. Buktikan APPI bukan menjadi kendaraan politik semata, alat kuasa saja. Mas popon, dibantu ya temannya.
Profesional.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline