Perusahaan bisa hidup, bisa mati. Yang melakukan perubahan pun bisa saja mati. Tetapi tanpa intangibles tak ada perubahan, tanpa perubahan takkan ada pembaharuan. Perusahaan yang unggul akan membangun kekuatan intangible, yang menjadikan dirinya value creator bagi bangsanya – Dr Rhenald Kasali
Setiap perusahaan yang berorientasi pada kepuasan pelanggan akan senantiasa berinovasi untuk meningkatkan kualitas proses dan kinerja organisasi. Untuk mewujudkan peningkatan proses dan kinerja tersebut, tentu membutuhkan suatu strategi yang melibatkan tangible capital dan intangible capital.
Salah satu intangible capital yang memiliki pengaruh besar terhadap kesuksesan organisasi adalah Human Capital yaitu modal manusia berupa pengetahuan, keterampilan, dan kemampuan manusia yang dapat digunakan untuk menghasilkan layanan profesional. Human capital mencerminkan kemampuan kolektif perusahaan untuk menghasilkan solusi terbaik berdasarkan pengetahuan yang dimiliki oleh individu-individu yang ada dalam perusahaan tersebut.
Saat ini PLN tengah melakukan transformasi di berbagai bidang dengan AKHLAK sebagai core value. Salah satu transformasi di bidang Human Capital yang dijalankan secara komprehensif dan terintegrasi dengan basis teknologi dan value/employee experience adalah diperkenalkannya Human Experience Management System pada seluruh PLN Group. HXMS merupakan hasil metafora MSDMBK dan HCMS yang sebelumnya berjalan dan berfokus pada penciptaan pengalaman personal pegawai dengan dukungan teknologi yang akan berpengaruh pada engagement dan motivasi pegawai untuk berkontribusi maksimal terhadap perusahaan.
Salah satu objectivitas dari konsep Human Experience Management System adalah sistem kesiapan kompetensi dan kapabilitas yang dikenal dengan Manajemen Talenta guna menciptakan talenta yang unggul, berdaya saing serta memiliki adaptibilitas yang tinggi terhadap perubahan transformatif. Salah satu strategi Manajemen Talent adalah melakukan pemetaan talenta dan menempatkan talent sesuai dengan jabatan dan tempat yang tepat.
Dari sudut pandang manajemen talenta, evaluasi pegawai memperhatikan dua bidang pengukuran utama yaitu kinerja dan potensi. Kinerja pegawai saat ini dalam pekerjaan tertentu selalu merupakan alat ukur evaluasi standar untuk profitabilitas seorang pegawai. Namun, manajemen talent juga berusaha berfokus pada potensi pegawai, yang berarti kinerja masa depan pegawai, jika diberi pengembangan keterampilan dan tanggung jawab yang tepat mengingat keberhasilan seseorang dalam melakukan pekerjaannya sangat ditentukan oleh kompetensi dan juga potensi serta karakter yang dimilikinya.
Beberapa indikator berjalan tidaknya manajemen talenta adalah adanya peta karir atau career path yang menjadi pedoman dalam melakukan pengembangan talent. Faktor kedekatan ataupun subjektifitas mungkin masih menjadi unsur kuat dalam menempatkan seorang pegawai pada posisi tertentu dan cenderung mengabaikan faktor potensi dan kompetensi yang dimiliki. Ketika kebijakan reorganisasi dilaksanakan dalam rangka memenuhi kebutuhan organisasi terjadi perputaran/mutasi pegawai yang masif akibat adanya struktur organisasi yang baru atau penambahan struktur organisasi. Maka langkah yang diambil dalam memetakan pegawai pada posisi dan jabatan yang baru tersebut belum sepenuhnya sesuai perencanaan.
Saat ini pengelolaan SDM di suatu unit organisasi sudah dilakukan secara terpusat melalui pembagian HTD berdasarkan area kerja. Meskipun demikian pelaksanaan dan perencanaan human capital yang baku yang belum sepenuhnya dijalankan sehingga mobilisasi talenta pun dilakukan. Seorang pegawai menduduki suatu jabatan baru meskipun dengan kompetensi yang tidak lagi sesuai. Sertifikasi yang melekat pada kompetensi yang dimiliki tidak lagi digunakan.
Hal ini berpotensi mempengaruhi pencapaian kinerja HCR dimana identifikasi dan penentuan strategic job families tidak relevan lagi baik dengan posisi jabatan maupun tema strategis yang menjadi fokus utama kinerja setiap tahun. Perubahan ini berdampak pada profil kompetensi pegawai yang menjabat pada posisi jabatan SJF yang harus dilakukan penyesuaian kembali. Di samping itu perputaran pegawai cenderung bersifat taktis dan kurang mempertimbangkan masa kerja pegawai. Karena tuntutan dan dinamika organisasi, rotasi pun dilakukan tanpa mempertimbangkan masa kerja pegawai.
Selain itu, akibat yang timbul dari reorganisasi adalah ketidaksiapan SDM baik secara kapasitas maupun kapabilitas untuk mendukung strategi perusahaan. Di satu sisi irama akuntabilitas harus tetap terjaga sementara proses adaptasi dan transisi terhadap posisi dan jabatan baru juga memerlukan waktu.
Di sisi lain kebutuhan dan dinamika perusahaan yang semakin tinggi dengan tuntutan kinerja yang semakin menantang. Akibatnya adalah ketidakmampuan pegawai menjalankan fungsi yang baru sesuai dengan job description organisasi. Hal ini tentunya akan berdampak bukan hanya pada terhambatnya pengembangan karir individu tetapi juga kinerja perusahaan.