Lihat ke Halaman Asli

Muthiah Alhasany

TERVERIFIKASI

Pengamat politik Turki dan Timur Tengah

Kewalahan Jalan Kaki di Turki

Diperbarui: 17 Oktober 2022   08:58

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Jalan kaki bersama teman-teman di Istanbul (dok.pri)

Kekuatan fisik orang Indonesia pada umumnya kalah dengan orang Turki. Terutama kita yang terbiasa hidup di kota besar. Adanya berbagai fasilitas kendaraan membuat kita malas menggerakkan kaki.

Sebetulnya saya senang berjalan kaki. Untuk naik Commuter Line, kadang saya berjalan kaki ke stasiun. Belanja ke minimarket yang jaraknya 500m s/d 1 km, saya berjalan kaki. Padahal saya melihat emak-emak di sekitar saya selalu menggunakan motor hanya untuk ke warung yang jaraknya 100 meter. Mereka bahkan sering heran melihat saya selalu berjalan kaki. 

Namun kebiasaan saya berjalan kaki tidak seberapa dibandingkan dengan orang Turki. Tapi bukan dalam hal jarak jauh, melainkan kecepatan mereka berjalan. Jarang sekali mereka berjalan santai. 

Di Indonesia, saya termasuk perempuan yang kuat dan cepat ketika berjalan kaki. Mungkin karena kaki saya lebih panjang. Teman-teman perempuan sering mengeluh jika jalan kaki bersama saya. Mereka sering ketinggalan, saya dibilang "terburu-buru". 

Sebaliknya di Turki, ternyata saya tergolong lelet. Tak ubahnya seperti siput berjalan. Kenapa? Karena orang Turki dan mereka yang telah tinggal di Turki, jalannya jauh lebih cepat. Apalagi jika kita berjalan dengan anak-anak muda di sana. 

Sewaktu janjian untuk jalan-jalan keliling kota, berkumpul di suatu tempat. Karena mayoritas anak muda, mereka memutuskan untuk berjalan kaki. Mulanya sih masih bisa jalan berbarengan, hanya satu atau dua meter jaraknya.

Namun sesudah melewati lima belas menit, jarak semakin jauh. Tahu-tahu mereka sudah puluhan meter di depan saya. Menyadari hal itu, saya berusaha mempercepat langkah, tapi tetap saja tidak terkejar. 

Jarak bukan semakin mendekat, malah semakin melebar. Pengaruh usia juga tidak bisa bohong. Akhirnya saya berada paling belakang dengan jarak lebih dari seratus meter. Nafas sudah terengah-engah, keringat pun bercucuran. Kaos yang dikenakan menjadi basah kuyup. 

Mereka sudah menghilang di belokan, saya masih celingukan mencari arah. Untung tujuan tempat nongkrong sudah ditentukan, kalau tidak saya pasti kebingungan mencari mereka. 

Di bawah jembatan Bhosporus yang terkenal, mereka sudah mendapatkan tempat yang strategis untuk kongkow-kongkow. Di sini kami minum teh sambil menikmati pemandangan. 




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline