Kawasan kota tua tidak asing bagi warga Jabodetabek, karena di sini adalah tempat wisata yang mudah dijangkau transportasi umum seperti Commuter Line dan Transjakarta. Selain itu, biayanya cukup murah, harga tiket museum hanya lima ribu Rupiah, jajanan kaki lima juga tersebar. Asalkan tidak masuk ke kafe-kafe yang sudah pasti memasang rate lebih tinggi.
Tanggal 16 Agustus lalu, saya mengikuti komunitas Koteka yang punya agenda ke sini. Meskipun saya sering ke tempat ini, saya tidak pernah bosan. Apalagi karena bersama teman-teman kompasianer, terutama mbak Gana Stegman yang datang dari Jerman bersama keluarga. Jadi, saya antusias menjadi peserta kotekatrip.
Hadir sebagai guide adalah Ira Lathief yang aktif di Wisata Kreatif Jakarta. Dia yang memandu kami sambil menceritakan asal usul dan sejarah tempat yang didatangi. Berkumpul di depan Cafe Batavia, Ira Lathief memberikan briefing singkat acara pada itu.
Pertama, kami masuk ke Museum Sejarah Jakarta (masyarakat lebih mengenal dengan sebutan museum Fatahillah), bekas kantor Gubernur Jenderal Belanda pada zaman penjajahan. Tak banyak yang dilihat, hanya penjara bawah tanah, karena museum sudah tutup pukul tiga sore. Tapi kami sempat mencicipi jajanan khas Jakarta/Betawi yang ada di halaman belakang, seperti selendang mayang dan kerak telor.
Lalu Ira Lathief menerangkan peta yang menggambarkan suasana zaman dahulu. Di mana ada alat pancung, hukuman bagi pribumi yang melakukan pelanggaran-pelanggaran. Saya baru tahu lho kalau nama Gunung Sahari berasal dari tumpukan mayat yang menggunung dalam sehari.
Kisahnya, pada masa itu penjajah Belanda membantai orang-orang keturunan Tionghoa yang merencanakan untuk demonstrasi. Mereka dibunuh sebelum berhasil melaksanakan rencana tersebut. Belanda lebih dulu mengetahuinya.
Keluar dari museum, kami melanjutkan ke hiden gem yang ada di sekitar museum. Jadi, cukup berjalan kaki saja menyusuri lapangan dan trotoar.
Kafe jamu Acaraki