Sekilas penggelontoran dana desa akan bisa menciptakan kesejahteraan untuk rakyat kecil di pedesaan. Pada kenyataannya, dana desa jarang dinikmati masyarakat sasaran, tapi menciptakan raja-raja kecil. Lurah atau kepala desa yang menangguk keuntungan.
Karena itu bukan rahasia lagi kalau dana desa menjadi bancakan di tingkat bawah. Aparat desa membaginya sesuai porsi jabatan. Pemandangan yang jomplang pun bisa dilihat di berbagai daerah. Rumah aparat desa mewah dan megah di tengah gubuk-gubuk rakyatnya.
Maka, bagaimana kita akan mencapai masyarakat yang sejahtera, adil dan makmur jika dana yang diperuntukkan bagi rakyat dimakan oknum aparat desa? Mungkin cita-cita para pendiri bangsa yang ada dalam UUD 1945 tidak akan pernah terwujud.
Korupsi menjadi masalah nomor satu di Indonesia. Hukum bisa diperjualbelikan, yang kaya dan punya kedudukan bisa lolos dari jerat hukum. Elite politik di tingkat atas memberikan contoh buruk yang ditiru para pejabat berdasi hingga ke tingkat desa.
Jangankan ke wilayah-wilayah terpencil, di sekitar Jakarta pun dana desa menguap di kantong lurah. Di tempat saya, lurah yang sudah puluhan tahun menjabat, berhasil merangkap menjadi developer, menjual perumahan skala menengah.
Sementara di satu sisi, BLT tidak pernah terdengar kabarnya. Di masa pandemi, sejak awal sudah didata penduduk yang ada. Tetapi hingga sekarang, nyaris tidak pernah menerima bantuan. Hanya sekali, dibagi beras yang sudah bulukan dan berkutu tanpa ada lainnya.
Jadi bisa dibayangkan bagaimana nasib rakyat di pelosok-pelosok. Jangan-jangan, rakyat di wilayah itu tidak pernah mendengar ada dana desa dari pemerintah pusat.
Ada beberapa hal yang harus diperhatikan:
1. Sosialisasi
Pemerintah pusat harus gencar menyoalisasikan bantuan dana desa kepada rakyat sampai tingkat terbawah. Sosialisasi ini bukan dilakukan aparat desa karena mereka justru cenderung untuk menutupi agar rakyat tidak tahu.