Lihat ke Halaman Asli

Muthiah Alhasany

TERVERIFIKASI

Pengamat politik Turki dan Timur Tengah

Maaf Dik, Kita Tidak Bisa Menikmati Senja di Parangtritis

Diperbarui: 9 Mei 2021   09:44

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi (dok.kalamkopi.wordpress.com)

Assalamualaikum WW.

Adikku, bagaimana persiapan untuk menghadapi lebaran? Maaf, mbak tidak bisa pulang karena pemerintah melarang. Berapa pun besarnya rindu ini kepada kampung halaman, mbak tidak bisa datang.

Gagal sudah rencana kita jalan-jalan dan menikmati senja di pantai Parangtritis. Padahal kita begitu ingin melakukannya seperti dulu. Hati mbak menjadi teriris mengingat hal itu.

Sudahlah, tak ada gunanya menangis. Kita terpaksa menunda rencana itu karena dipaksa keadaan. Bukan hanya kita yang bernasib demikian, banyak yang mengalami kesedihan yang sama.

Apa boleh buat, kita harus berkorban demi kebaikan bersama, supaya pandemi Covid 19 ini bisa dikendalikan. Mbak juga tidak mau jika keluarga kita terancam virus yang berbahaya, sebab bisa jadi mbak membawa virus ini dari Jakarta.

Bisa saja mbak nekad mencari jalan tikus agar bisa pulang ke rumah. Tapi biasanya kenekadan akan berakhir buruk. Mbak tidak mau mengalami sesuatu yang tidak diinginkan. Nanti mbak bisa menyesal seumur hidup.

Dik, mari kita kenang saja saat dahulu kala kita ke pantai Parangtritis. Kita sengaja mempersiapkan dari jauh-jauh hari. Motor sudah diperiksa di bengkel, mesinnya  diperbaiki.

Lantas, kita membawa bekal makanan yang cukup banyak. Kau memasak sendiri bekal kita agar tidak membuang uang untuk membeli. Ada nasi dan lauk-pauknya, buah-buahan dan tak ketinggalan kue buatannya yang enak.

Lalu kita menyusuri jalan raya, melewati Imogiri, menuju Bantul. Kadang kau membawa motor dengan kecepatan tinggi, dan kita tertawa-tawa. Adrenalin kita terpacu dengan motor yang melaju. Untunglah tak ada polisi yang memergoki.

Selepas Ashar kita tiba di pantai kesayangan, tempat yang menjadi nostalgia puluhan tahun, saksi bisu perjalanan hidup kita. Di atas pasir kita bercengkrama, menceritakan nasib yang berbeda. 

Sambil bertutur, kita sibuk mengunyah bekal yang dibawa. Sungguh, masakan mu selalu enak seperti biasa. Tanganmu sangat terampil seperti almarhumah ibu.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline