Sutinah sedang mengangkat gelas kopi yang telah habis diminum suaminya. Sementara sang suami, Sutikno tertidur di depan televisi yang menyala, menyiarkan berita terkini.
Perempuan separuh baya itu akan mematikan televisi ketika penyiar mengumumkan jumlah orang yang telah terkena virus Corona dan juga yang meninggal. Sutinah berhenti sejenak untuk mendengarkan.
"Saat ini jumlah orang yang meninggal bertambah dua kali lipat. Ibukota dalam keadaan genting". Gambar pada layar kaca menunjukkan data jumlah korban.
Sutinah mendengarkan dengan seksama sampai berita itu habis sambil mengurut dada. Ia teringat putra satu-satunya yang sedang merantau bekerja di Jakarta.
"Duh Tole, anakku. Mugo-mugo Gusti Allah melindungimu," doa Sutinah lirih.
Dua minggu yang lalu, Gatot menelepon, bahwa ia ingin pulang kampung sebelum Ramadhan. Tapi niatnya tidak bisa dipenuhi karena gubernur melarang warganya mudik.
"Mbok, Gatot belum bisa pulang. Di Jakarta lagi gawat, banyak orang terkena virus Corona,'. Sutinah pun paham.
Tetapi mendengar berita terus menerus tentang virus Corona membuatnya cemas. Entah kenapa semakin hari, jantungnya sering berdebar-debar. Ah, mungkin hanya perasaanku saja, lipur hati Sutinah.
Perempuan itu beringsut ke dapur sambil membawa gelas-gelas dan piring kotor sisa makan malam suaminya. Dibiarkannya Sutikno tetap mendengkur di kursi.
Sutinah menyibukkan diri dengan mencuci piring di dapur berdinding bambu. Ia terkenang masa lalu ketika Gatot masih kecil, lincah dan riang.
Lamat-lamat perempuan itu mendengar pintu depan di ketuk. Ia lalu bergegas ke ruang tamu. Dalam hati ia bertanya-tanya, siapa yang datang malam-malam begini.