Nyepi, tidak sekedar adat istiadat atau budaya dalam masyarakat Nusantara. Nyepi mengandung filosofi yang mendalam, yang seharusnya menjadi tuntunan dalam kehidupan.
Karena itulah Nyepi adalah hari raya yang tidak hingar bingar. Perayaan yang dilakukan umat Hindu, kebalikan dari umat lainnya, larut dalam keheningan.
Mereka kembali kepada Sang Penguasa jagad raya, merasakan titahnya dengan menyatukan diri bersama alam semesta. Dalam keheningan mereka merenungi apa yang telah terjadi selama ini.
Ini adalah saat untuk melihat refleksi dari apa yang telah dilakukan. Kalau ada kesalahan yang dilakukan, tentu harus berusaha diperbaiki.
Dengan mengingat apa yang telah diajarkan, manusia menjadi sadar akan kesalahan kesalahan mereka. Saling introspeksi, melakukan perbaikan dengan bergandengan tangan.
Hal inilah yang harus diketahui dan menjadi pembelajaran bagi kita semua, apapun agamanya. Karena pada dasarnya, semua agama mengajarkan kebaikan, menjaga keselarasan antara sesama makhluk dan alam semesta.
Menghadapi Pemilu 2019 yang penuh dengan kegaduhan ini, momen seperti Nyepi sangat diperlukan. Inilah kesempatan bagi para politikus dan masyarakat untuk menghentikan kegaduhan tersebut dan melihat kembali perbuatan mereka.
Pilpres kali ini begitu berisik, penuh dengan teriakan, caci maki dan penghinaan. Padahal sejatinya manusia adalah makhluk yang mulia, tetapi tidak mampu saling memuliakan.
Haus kekuasaan telah mematikan hati nurani para politikus. Mereka justru membuat kerusakan pada tatanan moral yang telah diajarkan agama melalui adat istiadat dan budaya.
Para politikus itu menjejalkan contoh keteladanan yang buruk, perilaku yang merisak. Tuntunan moral diputarbalikkan sehingga yang benar menjadi salah dan yang salah menjadi benar.
Mereka menanamkan pemahaman yang kontradiktif sehingga masyarakat terpecah belah. Polarisasi menjadikan masyarakat terkotak kotak agar mudah dikendalikan oleh mereka.