Kehidupan seorang Ratna Sarumpaet sebenarnya bukanlah masalah politik. Perempuan ini hanya menjadikan politik sebagai salah satu cara tetap eksis.
Kalau dilihat dari rekan jejaknya selama ini, ia lebih dahulu dikenal sebagai artis. Tetapi Ratna Sarumpaet tidak bisa dibilang artis papan atas, karena terlalu banyak yang melebihi dia, baik soal kecantikan maupun kemampuan.
Saat persaingan di dunia entertainmen semakin sengit, ia tersingkir dengan sendirinya. Hukum alam berlaku, semakin tua semakin tidak laku. Apalagi banyak artis muda bermunculan, membuat dia semakin tidak berarti.
Namun Ratna Sarumpaet tidak ingin tenggelam dan dilupakan orang. Karena itu ia mencari jalan untuk tetap eksis. Ia lalu menjadi aktivis.
Jalur yang ditempuh oleh Ratna Sarumpaet terbilang unik. Ia sengaja melawan arus. Ibaratnya kalau orang lain berjalan ke Timur, maka dia akan memilih ke Barat.
Ini adalah sebuah taktik agar namanya disebut orang. Karena kalau mengikuti arus, ia tidak akan kelihatan, kalah perhatian dengan orang lain.
Di sisi lain, ia dengan cerdik 'memelihara' beberapa rekan media agar terus memberitakan dirinya. Meski ketika demo ia hanya diikuti oleh sedikit penggemar, yang penting ada gemanya di media massa.
Ratna Sarumpaet haus perhatian dan haus publikasi. Ia melakukan apa saja agar nama dan wajahnya menghiasi media massa. Ratna tak peduli apakah pemberitaan mengenai dirinya adalah sesuatu yang buruk atau tidak, yang penting ia tetap eksis.
Kebutuhan untuk eksistensi ini sudah di luar batas normal. Bahkan menjadi candu yang luar biasa bagi orang seperti Ratna Sarumpaet.
Dengan kejeliannya, Ratna melihat bahwa bingar bingar politik Indonesia adalah sebuah cara jitu untuk menaikkan pamornya. Ia bisa naik kelas dari aktivis jalanan ke wilayah elite.
Kebetulan kubu salah satu capres merupakan celah yang baik untuk tujuan dia. Sebab dia menemukan persamaan dengan kubu tersebut. Mereka sama sama ingin menapak ke puncak dengan berbagai cara. Dan cara yang paling banyak digunakan adalah menggunakan kebohongan.