Beberes setelah makan, tampaknya sepele bagi kebanyakan orang. Tetapi sesungguhnya hal itu mencerminkan kemampuan otak seseorang dalam mengatur hidupnya.
Saya sangat setuju dengan kampanye beberes setelah makan di resto cepat saji. Sejak dahulu saya telah membiasakan diri beberes, dengan memasukkan sampah ke tempat yang disediakan.
Kenapa begitu? Puluhan tahun yang lalu, ketika lagi booming resto fast food, saya senang nongkrong di resto yang paling strategis seperti Sarinah. Di sana saya melihat banyak bule atau orang asing makan.
Saya perhatikan bahwa bule bule itu selalu membereskan sisa makanannya. Mereka mengangkat nampan, memasukkan sampah dan meletakkan nampan di tumpukan.
Saya malu melihat betapa banyak orang Indonesia yang begitu malas hanya untuk membereskan bekas makannya. Apa susahnya sih? Paling cuma butuh lima menit angkat pantat dan buang sampah.
Tuduhan netizen kepada KFC bahwa kampanye beberes hanya untuk memecat karyawan sangat konyol. Karyawan tetap dibutuhkan karena pekerjaan sangat banyak. Belum lagi kalau resto sedang penuh.
Sebenarnya adalah konsumen orang Indonesia memang sangat malas. Pantaslah jika ada yang mengatakan bahwa budaya Melayu membuat orang malas. Bergerak sedikit saja untuk beberes tidak mau.
Cermin kerja otak
Kalau ingin mengetahui apakah seseorang bisa mengatur pemikirannya, lihat kebiasaannya sehari hari. Jika hidupnya selalu berantakan, jelas dia tidak bisa memanen otaknya sendiri.
Begitu pula dengan kebiasaan makan. Apakah dia selalu merapikan makanan atau hanya ditinggal seenaknya setelah makan.
Orang yang sudah terbiasa memanajemen pikiran, mengatur pola hidupnya dengan baik. Setiap jadual kegiatan dalam sehari sudah terpatri di benaknya. Karena itu dia pasti tidak melewatkan sesuatu sedikit pun.