Lihat ke Halaman Asli

Muthiah Alhasany

TERVERIFIKASI

Pengamat politik Turki dan Timur Tengah

Mengapa Politik "Playing Victim" Digunakan Politikus di Indonesia

Diperbarui: 3 Oktober 2018   15:03

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi (dok.twitter.mafhudzmd)

Mengikuti perkembangan politik di dalam negeri, sebetulnya antara menggelikan, menggemaskan dan sekaligus menjengkelkan. Memang politik di Indonesia menghalalkan segala cara, bahkan dengan cara yang kita anggap konyol.

Salah satu taktik politik yang digunakan para politikus jago kandang ini adalah'playing victim', berakting seolah olah menjadi korban kezaliman kubu lawan. Cara ini dianggap cukup efektif untuk menarik simpati masyarakat, terutama untuk meraih dukungan menuju Pilpres 2019. 

Sungguh politik "playing victim' ini tidak mengenal etika. Apalagi jika dijalankan pada saat kondisi nasional tengah berduka karena bencana alam yang dahsyat. Tetapi politikus Indonesia seakan tidak mempunyai nurani, yang penting berhasil mencari celah untuk menjatuhkan lawan.

Mengapa para politikus ini senang menggunakan taktik'playing victim' ini? Ada beberapa alasan, antara lain: 

1. Keberhasilan di era SBY ketika memenangkan pemilu tahun 2004 yang lalu. Keberhasilan ini menjadi pembelajaran yang sangat penting bagi politikus Indonesia.

Kalau kita masih ingat, saat itu SBY masih menjabat sebagai menteri dalam kabinet yang dipimpin (mantan) presiden Megawati Soekarnoputri. Perselisihan antara SBY dengan Megawati dan alm. suaminya, membuat SBY hengkang dari kabinet.

SBY lalu mendirikan partai baru bernama Demokrat dan berjuang memenangkan pilpres. Rakyat sangat bersimpati kepada dia karena menganggap SBY dizalimi Megawati.

Sudah menjadi karakter orang Indonesia, membela orang yang 'dikuyo-kuyo' penguasa. SBY memanfaatkan hal ini dengan baik sehingga mampu mengalahkan Megawati di pilpres 2004.

Nah, banyak politikus Indonesia yang mencontek cara ini, meski dengan rekayasa. Terutama di era sekarang yang dibantu dengan media sosial.

2. Masyarakat Indonesia malas membaca. Khususnya para netizen yang aktif di media sosial. Mereka dengan mudah menelan apa yang tersaji di media sosial.

Karena malas membaca, mereka sangat jarang melakukan cek dan ricek tentang berita yang berseliweran itu. Padahal banyak berita hoax sengaja dibuat untuk membohongi mereka.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline