Banyak asumsi berseliweran terkait anjloknya nilai mata uang Rupiah terhadap dolar Amerika Serikat. Memang baru kali ini Rupiah mengalami kejatuhan yang sangat drastis. Tak heran jika ada sebagian masyarakat yang merasa cemas menyaksikan fenomena ini. Apakah Indonesia bangkrut?
Salah satu dugaan penyebab anjloknya Rupiah adalah karena disamakan dengan Turki. Ada yang mengira bahwa ini akibat dari Jokowi menentang kebijakan Donald Trump, atau mendukung Turki untuk melawan Amerika Serikat. Padahal penyebabnya lebih jauh dari itu.
Nilai mata uang yang anjlok tidak hanya Rupiah, tetapi hampir semua mata uang di dunia. Hanya saja kisarannya berbeda, tergantung bagaimana daya tahan negara masing-masing dan seberapa tinggi ketergantungan suatu negara terhadap negara adidaya tersebut.
Hal ini disulut oleh perang dagang antara Amerika Serikat dengan Cina, yang kemudian merembet antara Amerika Serikat dengan Turki. Efeknya menjangkau seluruh masyarakat internasional, terutama negara-negara berkembang. Meski tidak persis sama dampaknya.
Negara-negara yang paling parah terkena perang dagang ini adalah kawasan Amerika Latin. Masalahnya, kawasan ini memiliki Utang luar negeri yang tinggi. Selain itu, negara-negara ini tidak mampu mengendalikan laju inflasi di dalam negeri. Ketika Dolar bergejolak, mereka tidak berkutik.
Lantas mengapa banyak orang Indonesia yang menyamakan kejatuhan Rupiah dengan Lira Turki? Indonesia memang kecipratan perang dagang itu, tapi bukan berarti sama nasibnya dengan Turki. Ada perbedaan yang menyolok dalam masalah tersebut, terutama cara menanganinya. Ini yang menentukan apakah mata uang Rupiah akan cepat bangkit atau terus terpuruk.
Beberapa perbedaan tersebut antara lain:
1. Presiden Erdogan tidak panik, dengan cepat mencari solusi. Dia menggerakkan seluruh rakyat agar berpartisipasi melawan hegemoni Amerika Serikat di bidang perekonomian. Rakyat Turki menyambut himbauan itu dan menunjukkan perlawanan mereka secara simultan dan serentak ke semua penjuru negeri.
Sedangkan di Indonesia, Presiden Jokowi sulit melakukan hal itu. Pertama, karena di lingkaran elite politik terdapat berbagai kepentingan yang memaksa Jokowi tidak bisa bertindak drastis. Di sisi lain karena sebagian masyarakat adalah kaum nyinyir yang justru semakin memburukkan citra pemerintah tanpa ada upaya aksi untuk membantu.
2. Seruan boikot produk Amerika Serikat dilaksanakan dengan senang hati oleh masyarakat Turki. Para pengusaha menghentikan segala perniagaan dengan Amerika Serikat. Rakyat tidak mau lagi membeli barang-barang yang berasal dari negeri Paman Sam. Bahkan mereka menunjukkan sanggup menghancurkan Iphone yang dimiliki karena marah kepada Donald Trump.
Bagaimana dengan Indonesia? ini yang susah, banyak orang kaya di Indonesia, baik selebriti atau tokoh politik, yang memuja benda-benda mewah dari Amerika Serikat. Mereka tidak akan sanggup disuruh membuang barang-barang tersebut. Bahkan banyak di antara mereka yang membeli rumah di kawasan mewah Beverly Hills.