Mempelajari sejarah tidak terbatas pada buku-buku teori di sekolah. Kita dapat menapak jejak perjalanan bangsa dan negara ini dengan melihat langsung ke tempat tempat yang menjadi saksi bisu dari perjalanan tersebut. Banyak catatan tertoreh melalui bekas-bekas peninggalan masa lalu.
Beberapa waktu yang lalu saya beranjangsana ke wilayah Banten Lama dimana dahulu terdapat sisa-sia kejayaan Kesultanan Maulana Hasanudin pada masa 1526-1570. Teman baik saya, mbak Dewi Soerono mengantar saya berkeliling melihat reruntuhan keraton Surosowan yang terletak di Kecamatan Kasemen, Kota Serang.
Keraton ini sebenarnya cukup dekat, hanya 14 km dari kota Serang. Ada angkot yang melewati kawasan ini, tetapi saya tidak sempat nelihat nomor trayeknya. Lebih mudah dengan menggunakan kendaraan pribadi seperti motor atau mobil.
Dari luar saya melihat dinding benteng yang membentang panjang menutup kawasan keraton Surosowan ini. Tidak banyak prosedur yang dilalui karena hanya membayar parkir mobil seharga lima ribu rupiah. Kawasan belum belum dikelola dengan baik sehingga kita bisa datang dan pergi seenaknya.
Saya masuk melalui pintu berjeruji besi yang terbuka sedikit. Pintu gerbang dengan bentuk melengkung itu sebenarnya cantik . Tingginya sekitar dua meter. Sayang kesannya gelap dan kumuh. Setelah masuk ke area di dalam, di hadapan saya terbentang padang rumput seluas empat hektar.
Dari kejauhan saya melihat reruntuhan beberapa bangunan yang nyaris tertelan ilalang. Sepertinya tidak ada apa-apanya. Saya menghadapi ruang hampa, senyap dalam padang rumput dengan hanya bunyi gemerisik angin di sela-sela ilalang yang meninggi.
Pantas saja jika kita bisa masuk tanpa berbayar, soalnya tak ada apa-apa di sini, pikir saya dalam hati. Saya memperhatikan sekeliling, pada dinding benteng yang terbuat dari bata merah, tebal dan kokoh dengan lebar lima meter. Di setiap sudut benteng terdapat anak tangga agar kita bisa ke atas.
Saya tidak naik ke atas dinding, tetapi mengambil foto pada sisa bangunan yang melekat ke dinding. Pada saat itulah saya melihat seorang lelaki yang memegang sabit rumput, sedang membersihkan sebagian ilalang. Ia mendatangi saya dan menyapa dengan ramah.
"Di tengah sana ada pemandian yang masih bagus. Silakan ibu melihatnya dulu," ajaknya.
Saya berjalan di tengah teriknya matahari. Maklum saat itu sekitar pukul 12 siang dan udara sedang panas-panasnya. Begitu sampai ke lokasi, saya tak mengira menemukan tempat yang cantik.
Ada kolam pemandian yang masih utuh dengan dikelilingi tembok rendah terbuat dari bata merah dan tebal. Karena kolam ini terletak di bawah permukaan tanah, memang tidak terlihat dari jauh. Air kolam berwarna hijau gelap pertanda dasarnya dipenuhi lumut.