Paling enak tinggal di Indonesia, buka puasa terhitung cepat. Tapi bagaimana dengan negara negara yang berada di Eropa dan sekitarnya? Jam puasa di sana lebih lama lho.
Di Istanbul, Turki juga begitu. Puasa di sana lebih panjang daripada Indonesia. Perlu diketahui bahwa perbedaan waktu antara Indonesia dengan Turki adalah empat jam. Waktu Turki lebih lambat empat jam dari Indonesia.
Kalau di Indonesia adzan maghrib saat ini adalah sekitar 17.50. Nah, berbeda dengan Istanbul, jam enam sore matahari masih terang benderang. Matahari masih kinclong.
Adzan Maghrib baru akan berkumandang sekitar jam delapan malam. Untuk minggu pertama banyak orang yang berbuka puasa ramai ramai depan masjid besar seperti Sultan Ahmet dan Masjid Suleyman. Sedangkan adzan Isya terdengar pada pukul sembilan lebih.
Shalat tarawih di sana rata rata dilaksanakan 23 rakaat dengan bacaan bacaan surat yang panjang. Setidaknya, dalam shalat tarawih itu selesai 1 juz Alquran. Cara membacanya dengan tartil, tidak terburu buru. Sehingga kita baru selesai shalat tarawih sekitar jam 12 malam.
Keluar dari masjid cari angin dulu di halaman masjid, duduk di taman sambil minum teh. Kadangkala menyusuri jalan untuk menikmati suasana malam ramadhan. Atau melihat bazar Ramadhan yang biasanya digelar di area Taksim.
Nah, pulang ke rumah sudah lebih dari jam satu malam, menjelang jam dua dini hari. Pada umumnya penduduk Istanbul tinggal di apartemen. Keluarga saya juga tinggal di apartemen, di wilayah Sisli.
Apartemen kami ada di lantai tiga, dengan balkon menghadap ke jalan. Saya harus naik tangga dulu, arena tidak ada lift di apartemen itu. Setelah menekan bel, ibu angkat membukakan pintu.
Ternyata ibu sudah sibuk di dapur untuk menyiapkan makanan sahur. Akhirnya saya hanya meletakkan peralatan shalat dan langsung membantu. Saya menyiapkan meja, menata piring, dan makanan.
Jam dua dini hari itulah terdengar generasi ditabuh berlalu-talu. Saya pikir itu suara bedug masjid terdekat, tapi ternyata bukan, suaranya semakin mendekat melewati jalan depan rumah. Ternyata itu genderang yang digunakan untuk membangunkan sahur.
Pembawa genderang itu adalah seorang pria muda, dengan didampingi dua temannya. Ia menabuh genderang besar di dadanya dengan stik, iramanya teratur sehingga bergema di sepanjang jalan. Sementara kedua temannya yang berteriak sahur, sahur.
Makanan sahur hampir sama dengan buka puasa, sudah pasti memakai roti, ada sop corba, ada irisan keju, tomat, yoghurt, dan tak lupa zaitun. Saya memilih makan roti dengan diisi telur. Porsi makan orang Turki cukup besar. Saya yang biasa makan sedikit, dipaksa untuk makan lagi.
Setelah makan, kami duduk duduk di balkon sambil minum teh. Asyik banget sambil melihat pemandangan di langit yang penuh bintang. Saya merasa puitis dan romantis jadinya.