Keberadaan MCA (Muslim Cyber Army) seharusnya sudah bisa diprediksi dan diperkirakan jauh-jauh hari. Saat ini, media online ataupun media sosial menjadi alat utama dalam menyebarkan berita-berita palsu untuk menghasut masyarakat dan membenci seseorang atau sekelompok orang. Tujuannya untuk menciptakan instabilitas agar dapat mengguncang pemerintahan yang sah.
Ada banyak contoh dimana organisasi-organisasi yang dibentuk dan dibayar menyebarkan berita hoax digerakkan secara terstruktur dan profesional. Hal ini dipelopori oleh negara-negara maju, terutama negara adidaya untuk menciptakan konflik horisontal di negara-negara yang ingin dikuasai. Salah satunya adalah kawasan Timur Tengah.
Beberapa tahun yang lalu, CIA pernah mengakui keterlibatannya menggunakan agen-agennya membentuk 'pasukan khusus' yang sengaja menyebarkan berita-berita hoax di facebook untuk mengobarkan semangat pemberontakan di Mesir. Sehingga akhirnya kudeta berhasil dijalankan dan menggulingkan pemerintah yang sah saat itu. Kini Al Sisi menjadi penguasa sekaligus boneka Amerika Serikat di Mesir.
Begitu pula di negara-negara Timur Tengah lainnya. Dinas intelejen asing menggunakan media sosial sebagai alat untuk menyebarkan berita hoax. Masyarakat yang sekarang menjadi budak gadget dan tak pernah lepas dari media sosial, menjadi sasaran empuk. Kebanyakan mereka melahap berita-berita yang tersaji di media sosial dan bernafsu menyebarkannya tanpa berpikir.
Di Indonesia, kita sudah mengalaminya berulangkali. Sebelum MCA, ada Saracen yang sudah dibekuk dengan jaringan utamanya yang ternyata terkoneksi dengan kelompok tertentu. Begitu pula personel-personel MCA yang juga menjadi orang-orang bayaran dari kelompok tertentu untuk mendiskreditkan pemerintah.
Sebenarnya, dengan pengalaman itu, pihak yang berwajib seharusnya sudah bisa mendeteksi lebih dini keberadaan organisasi penyebar hoax di media massa. Bukankah kepolisian juga sudah memiliki unit khusus untuk kejahatan cyber. kejahatan melalui dunia maya, tidak terbatas pada penyebaran berita hoax, tetapi juga penipuan dan pornografi dan mafia narkoba.
Tingginya penggunaan internet di Indonesia seharusnya dapat diimbangi dengan peningkatan kerja polisi cyber. Saya yakin bahwa dana yang digelontorkan untuk itu, sudah disediakan oleh pemerintah karena hal ini menyangkut keselamatan bangsa dan negara. Karena itu gerak cepat sangat dibutuhkan untuk menangani kasus-kasus semacam ini. Entah kelompok mana yang membayar para profesional tersebut, yang pasti mereka harus diberantas.
Media penyebar hoax di Turki
Di Turki, yang lebih maju dan modern dari Indonesia, juga menghadapi masalah yang serupa. Apalagi Turki menghadapi lawan yang lebih kuat karena banyaknya pihak yang ingin menjatuhkan pemerintahan sah pimpinan Erdogan. Masing-masing dengan kepentingannya sendiri, meskipun tak menutup kemungkinan bahwa mereka bekerja sama dengan pihak lain.
Kudeta yang mengguncang Turki pada bulan Mei 2016 juga memanfaatkan media sosial, baik itu twitter, facebook, instagram dll. Ajakan-ajakan provokatif disebarkan secara sistematis sehingga masyarakat yang masih gamang mudah terhasut dan mengikuti ajakan tersebut. Syukurlah akhirnya kudeta tersebut gagal dan Erdogan melakukan pembersihan tanpa ampun.
Setiap orang yang terindikasi dengan kelompok pemberontak, langsung ditangkap dan dipenjarakan. Mereka yang terbukti terlibat lalu dieksekusi dengan hukuman mati. Sebagian dedengkotnya berhasil melarikan diri ke luar negeri dan tak bisa kembali untuk jangka waktu yang tak bisa ditentukan. Erdogan tetap akan mengejar mereka sampai dapat.