Persoalan E-KTP (KTP elektronik) seperti lingkaran setan. Tidak pernah selesai malah semakin ruwet. Sulit untuk melihat itikad baik pemerintah dalam menuntaskan masalah ini. Jutaan penduduk menjadi korban. Maka tidak salah jika saya katakan bahwa pemerintah menzalimi rakyat melalui e-KTP.
Pembuatan e-KTP bersifat pemaksaan. Masyarakat diharuskan mengganti jenis KTP lama dengan e-KTP. Sepintas kelihatannya benar, menuju masyarakat modern, KTP juga harus dimordenisasi. E-KTP ini merupakan persyaratan mutlak dalam mengurus beberapa hal.
Sejak awal, prosesnya tidak mudah, antrian orang yang membuat e-KTP membludak dari pagi hingga malam. Setelah itu masa selesainya cukup lama, harus bolak balik ke kelurahan untuk menanyakannya. Padahal tidak semua orang punya waktu hanya untuk mengurus e-KTP.
Ada beberapa yang sudah terasa ganjil, pembuatan e-KTP tidak serentak sepenuhnya. Banyak daerah yang mengalami kesulitan. Setelah itu, biayanya juga masih dipermainkan oleh oknum kelurahan. Sampai sekarang masih ada yang tidak bisa membuat e-KTP.
Di sisi lain, resiko kehilangan e-KTP memunculkan masalah dua kali lipat. Sebab, tetap saja ada hal yang membuat seorang penduduk kehilangan e-KTP, misalnya karena dicopet, bencana alam (banjir, kebakaran, gempa dsb). Hal ini tidak pernah diantisipasi oleh negara.
Karena itu orang yang kehilangan e-KTP menjadi sangat susah, tidak bisa mengurus surat-surat yang mengharuskan adanya e-KTP asli. Bahkan beberapa institusi menolak keterangan hilang dari polisi dengan alasan kebijakan institusi atau lembaga tersebut, harus memperlihatkan e-KTP asli.
Saya mengalami sendiri hal itu. Boleh dikatakan kehilangan e-KTP membuat warga jauh lebih stress. Masalahnya untuk mengurus penggantian e-KTP di kelurahan juga semakin sulit. Blanko dikatakan habis, belum ada pengiriman. Alhasil, warga hanya berpegang pada resi yang diberikan kelurahan.
Berbulan-bulan menunggu e-KTP baru selesai, tetapi ketika ditanyakan ke kelurahan, jawabannya sama; belum selesai. Ketika ada warga yang tidak memiliki kartu identitas tersebut, warga yang disalahkan, padahal ini adalah kesalahan negara.
Ironinya, terungkapnya kasus e-KTP tidak menjadikan pemerintah sensitif terhadap hak dan kewajiban rakyat. Tidak ada peningkatan dalam pelayanan pembuatan e-KTP. Bahkan beberapa pejabat yang terlibat kasus korupsi tersebut masih berkeliaran bebas.
Dua fakta besar yang menyelimuti masalah e-KTP adalah:
1. Korupsi melalui pembuatan e-KTP masih dilakukan para oknum, dari tingkat kelurahan hingga Kementrian Dalam Negeri. Terbukti bahwa blanko selalu dikatakan kosong, tidak ada stok. Tetapi ternyata diperjualbelikan secara gelap.