Lihat ke Halaman Asli

Muthiah Alhasany

TERVERIFIKASI

Pengamat politik Turki dan Timur Tengah

Humor Masa Kini vs Humor Masa Gitu

Diperbarui: 17 Oktober 2017   13:46

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pakar humor di Humor Masa Kini VS Humor Masa Gitu (dok.pri)

Sekarang ini, kita melihat betapa mudah orang menjadi emosi. Hanya karena masalah kecil, bisa menyebabkan pertikaian, konflik horisontal, hingga terjadinya kerusuhan. Sebuah istilah yang sekarang populer adalah 'sumbu pendek'. Kita menjadi mudah terbakar emosinya dan melakukan tindakan yang merugikan. 

Tentu kita masih ingat apa yang terjadi pada pertarungan Pilkada Jakarta, perang itu merupakan kelanjutan dari perang Pilpres 2014. Masing-masing kubu yang saling membela pemimpinnya masing-masing,tidak ada yang mau mengalah. Kebencian seakan dipelihara untuk eksistensi dalam dunia politik. Masyarakatpun terpecah belah. Apakah karena rasa humor telah lenyap dari masyarakat Indonesia?

Menyikapi perkembangan tersebut, maka IHIK3 menggelar acara diskusi dengan tajuk 'Humor Masa Kini VS Humor Masa Gitu' di perpustakaan humor, Ke Kini Ruang Bersama Cikini, Jakarta Pusat, Rabu 11 Oktober yang lalu. hadir dalam kesempatan itu adalah nama-nama yang sudah tidak asing lagi di dunia komedi, antara lain  Seno Gumira, Dedi 'Miing' Gumelar Bagito, Maman Suherman, dan penggagas IHIK3, Danny Septriadi, Novrita Widyastuti (CEO IHIK3), Yasser Fikry (CCO IHIK3), serta Dina Tuasuun. 

Dina Tuasuun yang sangat peduli pada dunia anak-anak mengemukakan pentingnya mempelajari humor untuk anak-anak.  Ia menilai bacaan anak-anak sekarang tidak membuat jiwa anak tumbuh dan berkembang dengan baik.  Padahal, sewaktu kecil ia sangat suka membaca majalah AMI (Anak Manis Indonesia). Majalah itu mampu mebuatnya terpingkal-pingkal. Sayangnya majalah itu telah lenyap dari peredaran.

"Tidak banyak lagi humor bagi anak masa kini," kata Dina. Padahal humor merupakan nutrisi penting bagi pertumbuhan jiwa anak.

Menurut Klein, dari buku Humor in Children Lives by Koller, humor berfungsi mengeratkan ikatan sosial, melepaskan tekanan dan mengendurkan ketegangan, merayakan kehidupan, menghapus kedirian, memacu pemikiran, memperbaiki kesalahan, menyeimbangkan kesakitan, bahkan menjadi terapi dan katarsis. 

Puluhan tahun yang lalu, sebelum abad 21, kita masih mendapat asupan humor dari buku dan majalah, lagu-lagu jenaka dan permainan tradisional. Tetapi bagaimana dengan anak-anak sekarang? Anak-anak makin terbebani dengan berbagai persoalan, terutama di kota-kota besar. Jadual yang padat tak memungkinkan mereka bersosialisasi. Bahkan mereka dipaksa mengikuti kebiasaan orang dewasa. Belum lagi serangan dari dunia digital.

Maka tak heran jika  kehidupan anak-anak menjadi gersang. Mereka mudah dipengaruhi dan diekspoitasi. Tengok saja, ketika pilkada DKI, ada anak-anak yang disuruh menyanyikan lagu 'bunuh Ahok'. Orang dewasa yang tak bertanggungjawab mengarahkan mereka kepada hal-hal negatif, yang semakin menjerumuskan mereka ke dalam dunia kegamangan.

Srimulat VS Stand Up Comedy

Maman Suherman menguraikan tentang perbedaan 'humor masa kini' dengan 'humor masa gitu'. Kebanyakan orangtua seperti kita hidup pada zaman panggung Srimulat, Jayakarta Group, Bagyo CS, Bagito, atau lebih lama lagi di masa Pak Item. Kita menikmatinya melalui satu-satunya televisi yang 'menjalin persatuan dan kesatuan'.

Sedangkan di zaman sekarang, yang lagi booming adalah stand up comedyyang berbau 'barat'. Stand up comedy memang cukup menghibur, mengisi kekosongan era yang kurang humor ini. Sayangnya para komedian yang nyemplung di sini, sebagian besar kurang 'iqra' atau kurang membaca untuk menambah wawasan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline