Lihat ke Halaman Asli

Muthiah Alhasany

TERVERIFIKASI

Pengamat politik Turki dan Timur Tengah

Gerakan Sadar Bencana BNPB Melalui Sandiwara Radio 'Asmara Di tengah Bencana'

Diperbarui: 18 September 2016   10:30

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hiburan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Memberikan pendidikan kepada masyarakat bisa dengan berbagai cara yang menarik. Hal inilah yang telah dicermati BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana) secara jeli. Masyarakat Indonesia memiliki karakteristik tersendiri sehingga harus ada penyesuaian dalam memberikan edukasi. Hiburan berbentuk sandiwara ternyata menjadi salah satu favorit masyarakat. 

Kita tentu masih mengingat bagaimana sandiwara radio Saur Sepuh dan Tutur Tinular sangat berjaya. Penggemar sandiwara tersebut bahkan rela menunggu jam putar/jam tayang agar tidak sandiwara itu tidak terlewatkan.  Sukses itu berlanjut ketika sandiwara radio tersebut diangkat ke layar lebar dan dijadikan sekuel. Begitu pula ketika ditayangkan di televisi menjadi cerita kolosal idola masyarakat. Momen seperti itulah yang hendak ditangkap BNPB dalam memelopori edukasi tentang bencana melalui sandiwara radio.

Sebuah gagasan brilian segera ditelurkan. BNPB mewujudkan sandiwara radio Asmara Di tengah Bencana (ADB) sebagai bentuk edukasi yang cukup efektif kepada masyarakat Indonesia. Tentu saja dalam rangka menyukseskan gelaran ini, BNPB tidak bisa sendirian. Lembaga ini juga menggandeng beberapa pihak terkait seperti artis-artis yang telah mempopulerkan sandiwara radio, misalnya Ivone Rose yang berperan sebagai Mantili di Saur Sepuh. Artis pendukung lainnya adalah Nanang Kasila, Ajeng, Harry Laksono, Eddi Dhosa, Siska Jawa, Ajeng Atmakusumah, Elsa Surya, Nenny Haryoko, Guritno dan Rifki. Lalu mengajak pula penulis kondang S.Tidjab yang menggarap Saur Sepuh dan Tutur Tinular.

 Selain itu BNPB juga bekerjasama dengan 20 radio di berbagai daerah yang menyiarkan sandiwara radio tersebut dengan waktu yang berbeda. Antara lain: Radio Kelud, Radio Merapi, Radio Pariwisata Senaputra Malang, Radio Thomson Gamma Majalengka, Radio SPS Salatiga, Radio Soka Adiswara Jember, Radio CJDW FM Boyolali, Radio, Fortuna Sukabumi, Radio Gabriel FM Madiun, Radio Hot FM, Serang, Radio Merapi, Magelang, Radio Persatuan Bantul, Radio Aditya Subang, Radio Gema Surya Ponorogo, Radio EMC Thomson Yogyakarta, Radio GeNJ Rangkas Bitung, Radio H Karang Anyar, Radio Elpas FM Bogor, Radio Thomson Bandung, dan Radio Studio 99 Purbalingga.

Mengikuti pola dan gaya sandiwara radio yang berbentuk cerita silat dan tak terlepas dari kejayaan zaman kerajaan, maka Asmara Di tengah Bencana ini juga dikemas serupa. Kisah cinta masih menjadi andalan dalam memikat para pendengar radio. Perbedaan kasta (antara ningrat dan orang biasa) tetap menjadi unsur dan bumbu utama dalam meramu sandiwara ini.  Mengapa model sandiwara ini diadaptasi oleh BNPB? ternyata karena BNPB menilai bahwa pendekatan budaya adalah unsur penting dalam memberikan edukasi.

"Melalui pendekatan budaya, dalam hal ini sandiwara radio, kita usahakan pencegahan bencana di tanah air mengena," tandas Dr. Sutopo Purwo Nugroho,  Kepala Pusat Data dan Humas BNPB dalam acara Nangkring bersama Kompasiana. Hadir pula Achmad Zaini, seorang  praktisi radio. Mereka mengaku  menjadi penggemar berat Saur Sepuh dan Tutur Tinular. 

50 episode

Sandiwara radio Asmara Di tengah Bencana ini terdiri dari 50 episode.  Sekarang sudah sampai pada episode 30-an. Kisah ini menceritakan  jalinan asmara seorang pemuda bernama Raditya, putra bangsawan Tumenggung Jaya Lengkara dengan Sekar Kinanti, putri Ki Lurah Jatisari. Halangan datang dari orang tua Raditya yang telah menjodohkan putranya dengan putri bangsawan lain. Di sela-sela kisah cinta tersebut, diselipkan pendidikan mengenai persiapan dan penanggulangan dalam menghadapi bencana alam.

Boleh dikatakan bahwa sandiwara radio Asmara Di tengah Bencana ini adalah gerakan sadar bencana yang dapat dilakukan secara simultan. Penyebarannya memang lebih banyak dikonsentrasikan di daerah-daerah karena beberapa hal. Pertama, karena masyarakat tradisional pada umumnya tidak memiliki pendidikan yang tinggi sehingga minim pengetahuan mengenai cara penanggulangan bencana. 

Kedua, bencana alam lebih sering terjadi di daerah-daerah, sedangkan di perkotaan hanya bencana yang disebabkan ulah manusia seperti banjir dan kebakaran. Ketiga, masyarakat kelas menengah ke bawah di daerah-daerah masih setia dengan hiburan yang datang dari radio. Media seperti radio lebih mudah dan fleksibel dibawa kemana saja.

Negeri cincin api

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline