Sebenarnya ini adalah cerita lama, lebaran beberapa tahun yang lalu. Tetapi saya belum pernah menuliskannya. Saya bukan orang NTT, kampung saya ada di Yogyakarta. Karena saya memiliki banyak teman dari berbagai daerah, saya juga tertarik untuk mengunjungi daerah-daerah tersebut. Jadi, pulang kampung bukan kewajiban bagi saya (apalagi orang tua saya sudah tiada). JIka ada kesempatan dan ada dana, maka saya senang berjalan-jalan ke tempat-tempat yang belum pernah saya kunjungi.
Saya mempunyai teman yang mempunyai 'darah' NTT, yaitu dari Larantuka. Tepatnya, dia blasteran NTT dengan Jawa Timur. Kadangkala dia pulang kampung ke Jawa Timur, kadang pula ke NTT. Sebagai orang yang Indonesia banget, keluarga teman saya ini bukan hanya multi ras atau suku. Ia juga memiliki keluarga yang berbeda agama. Mbak Yayuk, teman saya ini beragama Nasrani, tetapi beberapa sanak keluarga, baik dari NTT atau Jawa Timur ternyata beragama Islam. Jadi, baik lebaran ataupun Natal, teman saya ini ikut merayakan.
Suatu waktu mbak Yayuk mengajak saya berlebaran di kampungnya yang di NTT. Saya belum pernah ke sana, maka saya menjadi tertarik untuk mengikuti. Jauh-jauh hari ia telah memesan tiket pesawat. Maklum kalau pesan mendadak harganya mahal. Nah, menjelang keberangkatan, mbak Yayuk menukar sejumlah uang dengan dua ribuan yang masih mulus di bank. Jadilah ia membawa segepok uang baru tersebut dan dijejalkan ke dalam tas tangannya. Mbak Yayuk bilang, ini adalah oleh-oleh yang dinantikan anak-anak di sana.
Uang dua ribuan untuk anak-anak Jakarta dan sekitarnya sudah dianggap kurang berharga, nilainya terlalu kecil untuk dibelanjakan makanan atau mainan, kecuali dalam jumlah banyak. Namun hal itu berbeda ketika kita berada di daerah yang nun jauh dari kota besar, dimana anak-anak belum banyak mendapatkan uang dari orang tuanya. Terutama bila di daerah itu masih dalam kategori wilayah miskin. Sebagaimana diketahui, sebagian wilayah NTT masih diselimuti oleh kemiskinan. Uang dua ribu, menjadi barang yang sangat berharga.
Singkat cerita, kami tiba di kampung mbak Yayuk di Tarantuka, NTT. Kami disambut gembira bak pejabat yang datang. Untuk keluarga yang beragama Islam, mereka juga mengundang kami untuk berbuka puasa. Mereka juga telah bersiap-siap merayakan lebaran, walau dalam keadaan yang sangat sederhana. Yang jelas, tidak ada daging yang harganya melangit. Tetapi wajah mereka tetap cerah ceria menyambut datangnya hari raya. Saya gembira bercampur terharu melihat keceriaan anak-anak yang tanpa banyak tuntutan seperti anak-anak Jakarta.
Setelah sholat Ied, kami makan bersama. Tibalah saatnya untuk membagi uang kepada anak-anak. Mereka dengan riang berbaris tanpa komando mencium tangan dan mendapatkan lembaran uang dua ribuan baru yang mulus dan licin. Teman saya memang hanya membagi dua lembar saja per anak. Namun yang menerimanya gembira bukan kepalang. Mereka melonjak sambil berteriak gembira. Uang itu diciumi berulang kali. Bahkan ada beberapa anak yang begitu khidmat mencium uang tersebut, seakan ingin meresapkan bau uang baru ke dalam paru-parunya. Saya sangat terkesan.
Menurut mbak Yayuk, anak-anak sangat bahagia bisa mendapatkan uang baru dan mulus. Kenapa begitu? Karena uang yang beredar di NTT, khususnya wilayah yang agak terpencil dari ibukota propinsi, sangat terbatas. Roda perekonomian yang lambat, membuat daerah itu kurang berkembang. Maka uang yang berputar boleh dikatakan hanya itu-itu saja, sehingga karena terlalu sering berpindah tangan, uang-uang itu sudah berubah kumal dan lecek tidak karuan. Uang baru merupakan sesuatu yang langka untuk penduduk di sana.
Aduhai, perasaan saya bercampur aduk melihat pemandangan anak-anak yang bergembira dengan uang barunya. Saya membayangkan, betapa banyak orang yang kurang bersyukur di wilayah Jabodetabek, yang suka foya-foya, membuang uang tidak hanya dua ribuan tetapi mencapai ratusan, bahkan jutaaan Rupiah. Sementara di sisi lain Nusantara ada anak-anak yang begitu polos sudah merasa bahagia mendapatkan dua lembar uang dua ribuan baru. Mereka menyimpannya dengan hati-hati sebagai barang berharga, hanya dibuka untuk dicium dan tidak dibelanjakan untuk waktu yang lama.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H