[caption caption="penumpang pindah jalur di stasiun Manggarai (dok.pribadi)"][/caption]
Pengguna Commuterline seantero Jabodetabek pasti mengenal stasiun Manggarai dengan baik. Boleh dikatakan bahwa stasiun ini adalah stasiun transit yang paling ramai dan padat. Di sinilah orang-orang berganti kereta karena tujuan akhirnya tidak bisa langsung menggunakan satu jalur. Ada yang mau melanjutkan perjalanan ke arah Tanah Abang, Duri atau Angke, ada yang mau ke Jatinegara dan Bekasi, ada pula yang sampai stasiun Jakarta Kota. Jalur paling sibuk adalah Bogor-Jakarta Kota dengan jumlah Commuterline terbanyak.
Sebagai stasiun transit paling padat, maka ratusan orang pindah jalur dalam jangka waktu beberapa menit saja. Maklum masing-masing mengejar kereta yang dibutuhkannya. Hal itu tidak menjadi masalah bila sarana untuk pindah jalur cukup memadai, aman dan nyaman untuk dilintasi. Namun sampai saat ini, para penumpang harus melintasi rel agar bisa pindah jalur Commuterline. Walau sekarang sedang dibangun terowongan bawah tanah untuk pindah jalur, tetapi prosesnya memakan waktu lama. Setelah beberapa bulan, hingga kini terowongan itu belum juga selesai.
Alhasil para penumpang harus melintasi beberapa rel sebelum ke jalur kereta yang diinginkan. Ini tidak mudah, karena kedatangan kereta silih berganti sehingga ketika mau menyeberang, ada saja Commuterline yang menghalangi jalan penumpang. Sedangkan kereta yang dituju sudah terparkir di jalurnya. Jika terlambat mengejar kereta tersebut, penumpang terpaksa menunggu kereta berikutnya.
Persoalan lain, ada Commuterline yang tidak berada dalam satu jalur saja. Misalnya kereta yang menuju Jakarta-Kota, bisa berada di jalur 3 atau jalur lima. Pernah saya transit menunggu di jalur lima, ternyata datang di jalur tiga. Bahkan ketika saya pe-de menunggu di jalur tiga, ternyata datangnya di jalur lima. Akibatnya, saya dan penumpang-penumpang lain berlarian lagi menyeberang perlintasan terdekat agar bisa ke jalur tempat kedatangan kereta yang dimaksud. Sayangnya, di jalur empat suka nongkrong Commuterline jurusan Bekasi.
Maka kami yang berlarian ke perlintasan rel di ujung kereta agar tidak terhalang Commuterline yang parkir. Saking terburu-buru mengejar kereta, dan saling beradu cepat dengan penumpang lain, saya pun bertubrukan dengan penumpang dari arah yang berlawanan, yang mengejar kereta ke Jatinegara/Bekasi. Namun rasa sakit dan pening tidak dihiraukan. Tanpa sempat meminta maaf, masing-masing melanjutkan perburuannya menuju kereta yang diinginkan. Kami baru bisa bernafas lega setelah berhasil menaiki Commuterline tersebut.
Mengapa hal itu bisa terjadi? Pemberitahuan dari stasiun kadang tidak sinkron atau terlambat sehingga penumpang salah mengira dimana jalur yang tercepat kereta yang akan datang. Bahkan plang dengan layar pemberitahuan juga sering membingungkan. Kalau di dua jalur terpampang tujuan kereta yang akan datang adalah sama, misalnya Jakarta Kota, kita jadi bingung, mana yang bakal datang duluan, di jalur tiga atau jalur lima. Begitu pula Commuterline jurusan Tanah Abang, bisa berada di jalur lima atau jalur tujuh. Saya pun pernah ketinggalan kereta ke Tanah Abang, karena saya turun di jalur empat, dan kereta tersebut di jalur tujuh. Sedangkan di jalur lima ada kereta yang nangkring menghalangi perlintasan.
penumpang ngamuk
Beberapa hari yang lalu, ada penumpang pria yang ngamuk karena ketinggalan kereta yang menuju ke Bogor. Ia sudah susah payah berlari dari jalur dua (datang dari Bekasi). Perjuangannya melintas terhalang kereta di jalur lima. Posisinya yang berada di tengah menyebabkan ia harus menunggu kereta jalur lima berangkat terlebih dahulu. Ketika baru menyeberang, eh Commuterline telah menutup pintu dan bergerak meninggalkan jalur enam. Akibatnya penumpang pria tersebut ngamuk, marah dan mengumpat sejadi-jadinya.
Sasaran kemarahan penumpang, tentulah petugas yang paling dekat jaraknya dengan dia, yaitu PKD. Penumpang pria itu memarahi dan membentak-bentak petugas tersebut. PKD yang menjadisasaran kemarahan, berusaha menjelaskan dengan tenang, tetapi orang itu tetap tidak menerimanya. Ia masih meracau beberapa waktu lamanya. Untunglah petugas tersebut cukup sabar dan tidak menanggapi kemarahan penumpang. Ia lalu melanjutkan tugasnya menjaga perlintasan.
Saya juga pernah juga sangat kesal karena ketinggalan kereta. Apalagi jika sedang terburu-buru dan mengejar waktu. Namun tentu saja saya tidak ngamuk, hanya mengutarakan kekecewaan dengan nada pasrah kepada petugas/PKD. Toh, marah-marah juga percuma karena kereta tidak bakal balik lagi. Mengumbar kemarahan hanya membuang energi yang menambah lelah tubuh yang sudah seharian beraktivitas. Dan akhirnya, tunggu saja kereta berikutnya.