Lihat ke Halaman Asli

Muthiah Alhasany

TERVERIFIKASI

Pengamat politik Turki dan Timur Tengah

Edi Sudradjat, Jenderal Sufi Dari TNI

Diperbarui: 5 Oktober 2015   19:20

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Dalam rangka milad TNI yang ke 70, saya ingin mengenang seorang jenderal yang patut menjadi teladan bagi semua prajurit.  Dia adalah Alm. Jenderal Purnawirawan Edi Sudradjat, yang telah wafat pada tanggal 1 Desember 2006 dalam usia 68 tahun.  Pak Edi adalah satu-satunya orang yang pernah memegang beberapa jabatan sekaligus. Dia menjadi KSAD (Kepala Staf TNI AD), Panglima ABRI (sebelum berubah nama menjadi TNI kembali), dan Menteri Pertahanan dan Keamanan Indonesia.

Banyak orang mengira bahwa para pejabat di masa Orde Baru adalah kaki tangan Pak Soeharto dan selalu patuh kepada mantan presiden tersebut. Tokoh-tokoh Orde Baru dikenal hidup makmur dan disegani karena 'dekat' dengan sang penguasa. Tapi berbeda halnya dengan Bapak Edi Sudradjat. Ternyata Jenderal yang satu ini memiliki kepribadian yang luar biasa.

Pak Edi adalah orang yang rendah hati, low profile. Orang-orang yang mengenalnya, pasti menaruh hormat kepadanya. Pak Edi disegani oleh lawan maupun kawan. Dalam soal kecerdasan, ia adalah lulusan terbaik AMN (Akademi Militer Nasional) angkatan pertama tahun 1960 dengan rata-rata nilai A. Selama masa tugasnya, ia selalu menjadi yang terdepan dengan sederet prestasi. Karena itu, Pak Edi adalah perwira yang paling  mudah mendapatkan kenaikan pangkat hingga tingkat Jenderal.

Namun di sisi lain, Pak Edi adalah orang yang sangat soleh. Beliau akan segera menunaikan sholat jika sudah mendengar suara adzan. Mantan Wapres, Try Sutrisno pun kagum dengan ketaatan beliau. Dan ketakwaannya membuat ia bertambah rendah hati. Pak Edi tidak pernah riya memamerkan apapun yang dimilikinya. Ia mengatakan bahwa semua yang ada padanya adalah titipan Tuhan, yang sewaktu-waktu bisa diambil kembali oleh pemiliknya.

Ketika telah memasuki masa pensiun dan menjadi purnawirawan. Pak Edi enggan  disebut Jenderal. "Saya sudah bukan jenderal lagi, sudah pensiun."

Bahkan ketika ia sudah menunaikan ibadah haji, Pak Edi juga tak mau disebut Pak haji. "Haji itu adalah ibadah, urusan saya pribadi dengan Tuhan. Tak perlu dicantumkan atau disebut di depan nama saya."

Sayangnya, kebiasaan di Indonesia adalah selalu mencantumkan gelar apapun di depan nama seseorang. Apalagi orang yang tidak begitu mengenal Pak Edi, takut dibilang tidak menghormati jika tidak mencantumkan gelar. Padahal beliau sama sekali tidak peduli.

Walau menderita sakit, Pak Edi tidak pernah mengeluh.  Adalah suatu keajaiban bahwa ia mampu bertahan hidup setelah kehilangan separuh paru-parunya yang harus dipotong melalui operasi.  Ia hanya bisa memakan sesuatu yang dimasak khusus di rumah karena penyakitnya tersebut.  Namun ia tetap gigih dan bersemangat dalam memimpin sebuah partai.

Pak Edi dirawat di rumah sakit selama sepuluh hari sebelum meninggal dunia. Menjelang wafatnya, suasana di rumah memberikan pertanda. Salah satunya adalah robohnya pohon mangga di belakang rumah secara tiba-tiba. Pak Edi meninggal dunia pada hari Jumat sekitar pukul satu siang, dimana semua orang telah selesai melaksanakan sholat Jumat. 

Meninggalnya Pak Edi Sudradjat dirasakan sebagai suatu kehilangan yang amat sangat bagi kerabat dan handai tolan. Dia adalah panutan dan teladan bagi oarng-orang yang mengenalnya. Bagi saya, Pak Edi Sudradjat adalah Jenderal sufi yang cuma satu-satunya dimiliki oleh TNI. Saya tidak akan melupakan sinar wajahnya yang memancarkan kebeningan hatinya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline