Lihat ke Halaman Asli

Muthiah Alhasany

TERVERIFIKASI

Pengamat politik Turki dan Timur Tengah

Bahaya Politik Dinasti

Diperbarui: 11 Juli 2015   09:51

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Disinyalir bahwa pilkada langsung telah dimanfaatkan untuk melanggengkan politik dinasti. Di beberapa daerah, terjadi para calon petahana mengembangkan strategi agar dinastinya bertahan hanya pada keluarganya. Mereka menciptakan kerajaan-kerajaan kecil yang justru bertolak belakang dengan semangat pilkada langsung untuk memilih pemimpin yang benar-benar berasal dari rakyat dan diinginkan oleh rakyat.

Bagaimana cara mereka menjalankan politik dinasti? Antara lain dengan  menanamkan antek-anteknya hingga ke tingkat desa. Mereka memiliki anak buah yang dipelihara kesetiaannya dengan memberi imbalan dalam bentuk materi atau pemberian keistimewaan. Anak buah ini bisa merupakan bagian dari jajaran pemerintahannya sebagai kepala daerah, dari tingkat propinsi hingga perangkat desa. Selain itu ada pula tokoh-tokoh masyarakat/stake holder yang disegani oleh masyarakat.

Tugas antek-antek ini adalah selalu meyakinkan masyarakat bahwa tidak ada calon kepala daerah yang lebih pantas dari keluarga mereka. Biasanya hal itu dikaitkan dengan asal usul keluarga, entah karena keturunan darah biru, keturunan tokoh setempat atau keluarga dari pejabat di pemerintah pusat. Kadang-kadang hal itu dicampur dengan sesuatu yang berbau mistik. Misalnya, kalau tidak memilih tokoh petahana tersebut, masyarakat bisa kualat dan mendatangkan bencana. Masyarakat digiring untuk terus memilih calon dari keluarga dinasti.

Politik dinasti ini sangat berbahaya bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Mengapa begitu?

1. Politik dinasti menutup peluang calon lain. Padahal calon lain bisa jadi lebih kompeten dan memiliki integritas lebih dari calon petahana. Pilkada menjadi tidak obyektif karena tidak berdasarkan kemampuan dan keahlian yang sebanrnya. Berarti politik cenderung merusak demokrasi karena bukan pilihan masyarakat yang sebenarnya.

2. Rawan penyalahgunaan wewenang. Menjalankan politik dinasti seperti menjadi raja kecil dengansegala kekuasaannya. Ia bebas mengeluarkan keputusan-keputusan yang justru seringkali hanya menguntungkan keluarga dan kerabatnya saja. Banyak yang kemudian menjadi lupa untuk memperjuangkan kepentingan rakyat. Ini berarti menghambat usaha pemerintah pusat untuk menyejahterakan rakyat.

3. Rawan korupsi. Politik dinasti membuka celah-celah untuk melakukan korupsi, sistem pengawasan menjadi kendur karena semua personel masih merupakan kerabat dan handai tolan. Mereka enggan menegur pimpinan jika melakukan kesalahan, apalagi jika telah ikut kecipratan rejeki dari dinasti tersebut.

Kita telah mempunyai contoh yang nyata akan bahaya politik dinasti. Sebut saja kasus mantan GUbernur Atut, yang ditahan KPK karena melakukan korupsi. Kasus Atut juga telah meyeret adik kandungnya, Wawan yang juga merupakan suami dari Walikota Tangsel, Airin. Atut telah mengembangkan politik dinasti yang memberikan keuntungan bagi keluarganya sendiri, sementara rakyat Banten samapai saat ini masih bergelut dengan kemiskinan.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline