Lihat ke Halaman Asli

Muthiah Alhasany

TERVERIFIKASI

Pengamat politik Turki dan Timur Tengah

Maaf, Saya Tak Mau Ikut Asuransi

Diperbarui: 17 Juni 2015   09:01

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Asuransi sudah menjadi suatu kebutuhan bagi masyarakat di kota metropolitan dan kota-kota besar lainnya. Dalam banyak hal, ada saja yang membuat kita harus mengakui bahwa keberadaan asuransi merupakan suatu alternatif pertolongan pada saat yang mendesak.  Sebab kita tak pernah bisa memprediksi apa yang akan terjadi pada esok hari.

Sebenarnya, menjalani kehidupan di kota besar dan sekitarnya memaksa kita berpikir pentingnya berasuransi. Bagaimana tidak, setiap hari kita menghadapi banyak masalah yang mengancam keselamatan setiap orang. Pertama, padatnya lalu lintas meningkatkan resiko kecekaan baik yang memiliki kendaraan atau tidak. Kedua, Polusi dan gaya hidup yang tidak sehat memunculkan berbagai penyakit. Ketiga, padatnya pemukiman memungkinkan kebakaran terjadi kapan saja dan memusnahkan apa yang dimiliki selama bertahun-tahun. Keempat, mahalnya pendidikan membuat orang tua harus menyisihkan dana masa depan, dll.

Namun semua itu tidak membuat saya tertarik untuk ikut asuransi. Maaf, saya tak mau ikut asuransi. Bukan karena saya tidak mengerti tentang asuransi. Saya memiliki pendidikan dan pengetahuan yang cukup untuk menyadari prospek yang ditawarkan asuransi. Masalahnya, saya tidak bisa menjamin apakah mampu membayar premi asuransi setiap bulan jika selama ini hidup hanya pas-pasan. Saya akan lebih mementingkan membeli beras daripada membayar premi asuransi.

Bagi karyawan tetap dan PNS golongan 3A ke atas mungkin tidak sulit untuk mengikuti asuransi. Masih ada uang yang bisa disisihkan untuk iuran setiap bulan. Tetapi bagi pekerja informal yang tidak memiliki penghasilan tetap, hal itu menjadi muskil. Jangankan untuk membayar premi, buat makan sehari-hari saja harus putar otak tujuh keliling. Apalagi kebanyakan premi asuransi di atas seratus ribu rupiah. Jumlah itu cukup untuk membeli beberapa kilo beras.

Kondisi saya tak beda dengan masyarakat Indonesia yang sebagian besar masih berada di tingkat perekonomian menengah ke bawah. Setiap hari harus berkutat dengan harga sembako yang semakin tinggi. Tidak pernah ada jaminan bahwa pemerintah bisa menurunkan harga sembako. Kesulitan ekonomi kian membelit rakyat jelata. Dan ini terjadi di seluruh Indonesia. Karena itu, asuransi hanya dipandang sebelah mata, bukan sesuatu yang menarik untuk dilihat atau dimasuki.

Menghadapi kenyataan tersebut, maka saya lebih memilih untuk berasuransi kepada Tuhan. Hal yang utama adalah selalu membaca doa pada setiap kegiatan yang saya lakukan. Kemudian adalah selalu waspada dan hati-hati dalam menjalani rutinitas kehidupan. Jika semua  telah dilaksanakan dan saya masih mengalami sesuatu yang tidak mengenakkan, itu adalah persoalan takdir dan solusinya kembali kepada Tuhan yang mengendalikan kehidupan kita.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline