Part 6
Bingkisan pertama, sebuah buku yang berjudul "Merayakan Cinta", menarik perhatianku. Dari sampulnya yang bergambar dua cincin saling bertautan, aku menebak isinya tentang seputar tata cara menjalani pernikahan.
Aku menghela napas dalam. Seandainya pernikahan ini layaknya sepasang kekasih yang melabuhkan cinta, mungkin aku akan semangat membaca buku tebal itu.
Di bawah buku, sebuah kerudung bermerk dengan motif garis-garis masih terkemas rapi. Jujur jilbab segi empat berwarna dasar biru muda itu, menjadi impianku sejak lama. Harganya cukup menguras isi dompet, membuatku berpikir panjang untuk memilikinya. Bisa memakai KW-nya saja, aku sudah bersyukur.
Supaya tidak mengecewakan Alif, aku mencari baju atasan yang cocok dengan kerudung. Aku memakainya, kemudian mematut diri di cermin. Netraku fokus pada bulatan hitam seperti mata panda. Mungkin, karena seminggu belakangan ini aku tidak bisa tidur.
"Oyok, sudah belum dandannya?" teriak Emak dari luar.
Sudah, Mak," sahutku.
"Cepetan atuh keluar, kasihan si Abang menunggu lama."
"Iya, Mak Tiara ngemas dulu pakaian."
"Emak bantuin ya!"
"Nggak usah, Mak. Sebentar juga beres," jawabku sembari memasukkan pakaian ganti dan barang pribadi ke dalam koper.
Sekilas mataku menangkap guling. Aku tersenyum.
Setelah dirasa beres, gegas aku keluar. Alif sepertinya terkesiap melihatku.
"Kerudungnya cantik, adikku Keyla memang pintar memilihnya," bisik Alif begitu aku tepat di sampingnya.
Aku menggilirkan mata ke samping, sambil sedikit mengerucutkan bibir.
Dasar Alif! Malah kerudungnya yang dibilang cantik.
"Aeh-aeh nanaonan (apa-apaan) kamu teh, Oyok! Bawa guling segala." Emak mengambil guling dari tangan kiriku.
"Siniin, Mak. Itu buat senjata Tiara." Aku menyenderkan koper di dinding depan rumah, hendak mengambil guling dari tangan Emak.
"Senjata naon maksudna, Yok? (Senjata apa maksudnya, Yok?)" Emak mengernyitkan dahi.
"Tiara nggak bisa tidur kalau nggak meluk guling ini, Mak," jawabku mencoba memberi alasan yang mudah dimengerti Emak.
Alif membawa koperku dan memasukkannya ke bagasi mobil. Bapak menjinjing kardus yang berisi makananan olahan kampung, lalu memberikannya pada Alif.
"Ini Bang, diterima ya! sae mah heunte hatur lumayan! (ini tidak bagus tapi lumayan)!"
Alif mengaguk dan mengucapkan terima kasih, kemudian menutup pintu bagasi kembali.
"Sebentar Bang, ini nanas simadu. Insyaa Allah dijamin manis, semanis yang bawanya!" seru Mang Kardi sambil setengah berlari menghampiri Alif. Tampak di kedua tangannya lima buah nanas yang berwarna kuning.
"Jangan percaya, Bang! Kalau si Mamang yang bawanya, nanasnya jadi asam," timpal Bik Nenih sambil tertawa.
"Ah, kamu mah haseum (asam) juga tetep doyan, 'kan." Mang Kardi mengedipkan sebelah matanya ke arah Bik Nenih.
Para tetangga yang menyaksikan tingkah lucu Mang Kardi pun ikut tertawa, sementara itu aku baper melihat tingkah mereka.
Alif membuka kembali bagasi mobilnya, kemudian memasukkan nanas ke dalamnya.
Setelah dirasa selesai, aku menghampiri Emak dan Bapak. Aku mencium tangan keduanya dengan takzim. Emak memelukku erat. Tangisnya pecah ketika kepalaku terbenam di dadanya.
Emak mengurai pelukan lalu mencium keningku. Bapak mengusap punggungku sembari berkata, "Sing nurut ka suami nya,Yok! Bapak selalu mendoa'kan Oyok, cing bahagia."
Aku mengangguk. Sekilas netraku menagkap bola mata Bapak yang basah. Entah mengapa kaki ini terasa berat untuk melangkah. Rasa sayang dan khawatir mengalahkan kecewa yang masih tertanam di dalam dada.
Selanjutnya aku melangkah menuju Oma Nenah. Tampak beliau sedang memeluk Alif. Aku berdiri di samping mereka dengan canggung
"Sini, Yok!" Oma Nenah mengurai pelukan Alif, lalu beralih memelukku.
Setelah pamit kepada para tetangga yang hadir, aku langsung masuk ke mobil diikuti oleh Alif. Aku membuka kaca mobil, lalu melambaika tangan. Tampak, Emak sedang menagis dalam pelukan Bik Nenih. Dadaku kembali terasa sesak.
Perlahan mobil melaju menuju jalan raya. Aku memejamkan mata berusaha melupakan kenangan kemarin yang masih selalu melintas dalam pikiran.
Aku membuka mata, ketika tanganku ada yang menyentuh. "Ish, mau ngapain!" Aku mendelik.
"Sekarang kita turun, salat dulu! Dari tadi kamu tidur terus."
"K-kamu nggak ngapa-ngapain 'kan?" Aku gelagapan.
Alif mengulum senyum. "Entahlah, cek aja sendiri!" jawabnya sambil mengedikkan bahu, lalu keluar dari mobil.
Aku meraba tubuh dari ujung kepala sampai ujung kaki. Kemudian, mengambil cermin kecil berbentuk lingkaran dari dalam tas. Tampak wajah kusut khas bangun tidur terpantul di sana. Aku menghela napas lega. Aku membuka pintu mobil, lalu melangkah menuju mesjid.
Setelah selesai melaksanakan salat, aku kembali ke mobil. Sembari menunggu Alif, aku membuka ponsel. Banyak chat masuk ke grup SMP. Benar saja, aku jadi bahan topik pembicaraan. Ingin rasanya aku membalas chat mereka, tapi aku malas membahas kejadian yang mungkin dianggap aneh dan tak biasa. Bahkan, diri sendiri pun masih berasa mimpi.
Aku menoleh, ketika terdengar suara pintu mobil terbuka. Aku terkesiap melihat wajah putih bercahaya. Mungkin, karena terbasuh air wudu.
"Kenapa? Aku ganteng ya?" Alif menaikkan sebelah alisnya sembari menyimpan kopiah di laci mobil.
"Ih, PD abis." Aku merenggut.
"Ya Pede lah, secara aku ganteng turunan."
"Setuju, kamu ganteng turunan nanti pas tanjakan gantengnya hilang." Aku tertawa lepas.
Tak disangka Alif ikut tertawa. Aku kembali memandangnya yang sedang khusuk memegang kemudi.
Sejujurnya, aku kagum pada pria di sampingku ini. Dia sangat mementingkan salatnya. Aku pun jadi ikut terbawa salat tepat waktu. Biasanya aku memang asal saja melaksanakan kewajiban.
Aku sempat mendengar bisik-bisik tetangga, kalau aku sangat beruntung mendapatkan Alif. Bahkan teman-teman di grup saling melempar canda, mereka bilang aku mujur kabur dari rumah, dasar!
Ya, memang aku beruntung, tapi apalah diri ini dibanding Alif.
Aku harus mampu mengusir rasa nyaman ini.
Sebenarnya, aku ikut dengan Alif, karena ingin bisa mengobati rasa kecewa terhadap Bapak. Aku sering berdebat sama Bapak, setelah temannya yang di Karawang ingin menjadikanku menantunya.
Sampai detik ini, aku hanya menganggap Alif sebagai sang penolong dan berharap suatu hari nanti bisa membalas kebaikannya.
"Astaghfirullah!" pekik Alif sembari mendadak mengerem mobil.
Jantungku berdebar kencang, tanganku tiba-tiba gemetar. Tubuhku terhuyung ke depan. Seandainya, tidak memakai sabuk pengaman, mungkin kepalaku sudah terbentur.
"Ada apa ini?" tanyaku sembari bangkit dari kursi mobil mencoba melihat ke depan jalan.
(Bersambung)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H