Lihat ke Halaman Asli

Empi Muslion

pengembara berhenti dimana tiba

Menggagas Asuransi Bencana Alam

Diperbarui: 16 November 2018   12:48

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Sebagaimana diketahui, dari aspek geografis, klimatologis, dan geologis, Indonesia berada di bawah ancaman bencana alam. Berada di antara dua benua dan dua samudra, serta puluhan gunung api aktif, Indonesia sangat rawan tanah longsor, badai, gempa, dan letusan gunung berapi. Belum lagi ancaman banjir dan kekeringan.

Posisi Indonesia yang terletak pada pertemuan tiga lempeng benua, yaitu lempeng Eurasia, Indo-Australia, dan Pasifik, menjadikan wilayah Indonesia termasuk dalam pacific ring of fire yang bisa menimbulkan gempa dahsyat. Dari aspek demografis, besarnya populasi dapat memicu bencana kerusuhan atau bencana akibat ulah manusia (man made disaster).

Selama tahun 2018, hingga (oktober 2018) BNPB mencatat terjadi 1.999 kejadian bencana di Indonesia, jumlah ini akan terus bertambah hingga akhir 2018. Dampak yang ditimbulkan bencana sangat besar, tahun 2018 tercatat 4.157 orang meninggal dunia dan hilang, 15.001 orang luka-luka, 3,18 juta jiwa mengungsi dan terdampak bencana, 333.969 rumah rusak berat, 7.810 rumah rusak sedang, 20.608 rumah rusak ringan, dan ribuan fasilitas umum rusak. Begitupun dampaknya terhadap kerugian ekonomi yang ditimbulkan bencana cukup besar. Sebagai gambaran, gempabumi di Lombok dan Sumbawa menimbulkan kerusakan dan kerugian Rp. 17,13 triliun. Gempabumi dan tsunami di Sulawesi Tengah menyebabkan kerugian dan kerusakan lebih dari 15,29 triliun. Jumlah ini diperkirakan masih akan bertambah.

Atas fakta, data dan realita kondisi masyarakat Indonesia yang berada dan hidup diatas permukaan tanah yang rawan bencana alam, negara sudah seharusnya serius memikirkan serta berinisiasi untuk mencari solusi meminimalisir kondisi kerugian yang dialami oleh masyarakat pasca terjadinya bencana alam. Salah satunya skema asuransi bencana alam layak untuk diperbincangkan.

Formula solusi asuransi bencana alam sempat mengemuka, bertepatan dengan dialog pertemuan tahunan IMF-Bank Dunia di Bali, Wakil Presiden Jusuf Kalla  (10/10/2018)  saat menjadi pembicara dalam rangkaian kegiatan pertemuan tersebut, menilai, perlu adanya sistem untuk mengasuransikan aset-aset negara yang rusak akibat terdampak oleh bencana alam.

Wakil Presiden Jusuf Kalla mengatakan, bencana alam yang datang tanpa diduga tentu bisa menyebabkan banyak kerusakan yang parah. Hal inilah yang membuat anggaran negara terbebani untuk penanggulangan hingga rekonstruksi. Berdasarkan pengalaman Indonesia, proses rehabilitasi dan rekonstruksi pasca bencana dibiayai dengan APBN, sehingga negara kesulitan untuk mempersiapkan segala sesuatunya. Menurut Wapres, biaya rehabilitasi dan rekonstruksi pasca bencana tidaklah sedikit. Oleh karena itu perlu adanya semacam asuransi aset-aset negara yang terdampak bencana.

Hal ini penting tak hanya untuk Indonesia, tetapi juga untuk semua negara yang rawan bencana alam. "Memang selalu kita berbicara ini dalam situasi yang sulit (saat ini), kalau situasi sudah baik kadang-kadang dilupakan," ujar Wapres. "Kalau jembatan atau gedung rusak karena bencana ya sudah, menjadi beban APBN. Tentu kita tidak mau jadi beban APBN dan tidak mau bergantung pada bantuan luar negeri, makanya perlu partisipasi dari masyarakat, agar aset negara bisa di asuransikan dan masyarakat mau mengasuransikan asetnya juga." Maka dalam momentum Pertemuan Tahunan IMF-World Bank di Bali saat ini diharapkan bisa diketahui skema asuransi bencana yang tepat untuk Indonesia. "(Asuransi bencana) perlu, makanya harus kita bicarakan. Momen ini betul-betul tepat karena beberapa waktu lalu baru terjadi bencana di Indonesia," pungkas Wapres.

Wakil Presiden Jusuf Kalla berharap pertemuan IMF-Bank Dunia bisa membicarakan kerja sama internasional untuk rehabilitasi dan rekonstruksi apabila terjadi bencana sehingga tak harus mengandalkan bantuan internasional. "Kita tentu bicarakan dan bagaimana solusinya. Salah satu solusinya ialah tentu persiapan dan memberikan kesadaran dan melaksanakan apa yang dapat kita lakukan, seperti asuransi bencana."

Sementara itu dikesempatan yang sama, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan data Bank Dunia menunjukkan bahwa Indonesia termasuk 35 negara di dunia dengan risiko tinggi terjadinya korban jiwa akibat bencana.

Terbatasnya kemampuan fiskal dalam menyediakan pendanaan untuk bencana, maka Menkeu mengajak para peserta yang hadir dari berbagai negara untuk saling berbagi dan menemukan solusi yang tepat, khususnya dalam hal pembiayaan dan asuransi risiko bencana.

"Kita perlu mengidentifikasi semua risiko bencana alam dan memikirkan mekanisme fiskal serta instrumen keuangan terbaik untuk mendukung rehabilitasi yang paling efektif dan paling cepat. Sebuah strategi jangka Panjang untuk membangun ketahanan (resiliency) terhadap bencana alam, khususnya dari sisi fiskal," kata Menkeu Sri Mulyani.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline