Lihat ke Halaman Asli

Empi Muslion

pengembara berhenti dimana tiba

[Fikber 2] Denting Biola Hitam

Diperbarui: 27 November 2015   15:56

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Empi Muslion, No.9 

 

Keluar dari rumah sakit.

Tubuhku lumayan segar, walau kadang migren dan tukak lambung ku sering kambuh. Aku sekarang hidup sebatang kara, sepeninggal ayah, aku hidup terlunta-lunta, rumah ayahku yang terbakar, sudah rata dengan tanah, tanahnya di jual oleh Kepala Desa Sadikin kepada calo tanah, sekarang sudah berdiri super market mewah di tanah penuh nostalgiaku itu.

Aku pergi dari rumah Mbok Minah, tak sanggup aku menghadapi ulah polah mereka. Aku pergi ke desa lain, aku menumpang dirumah Mbak Desia adik perempuan ayahku, aku membantunya membuat kue basah untuk di jual di pasar tradisional.

Aku sering melamun, jiwa ragaku belum sanggup berpisah dengan ayah.

Aku ingat ayah.

Betapa sayang dan perhatiannya ayah kepadaku, siang malam ayah bekerja membanting tulang, setiap malam beliau tega bergadang karena menjadi satpam bagi nyamuk yang banyak di kamarku, ayah tak pernah berhenti menyelimutiku, karena memang tidurku yang suka gelisah.

Suatu ketika, saat usiaku menanjak dewasa, ayah pernah bercerita tentang ibu, aku lihat wajah ayah begitu sendu, garang raut mukanya lebur, meredam air mata yang terpendam.

“Sukma, kesinilah nak,”

Ayah merangkulku, dan aku berada dalam pangkuannya yang sangat hangat.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline