Oleh : Empi Muslion
Selang sengkarut kasus hukum yang menjerat pejabat negara di republik ini semakin hari semakin meningkat, saat ini lagi riuh riaknya para pejabat dibidang penegak hukum di KPK dan Polri yang menghiasi hampir semua pemberitaan di media, terutama pasca pengajuan calon Kapolri yang diusulkan oleh Presiden Jokowi yakni Irjenpol Budi Gunawan (BG) dan disangkakannya kasus hukum kepada komisioner KPK Bambang Widjoyanto (BW), serta dilaporkannya hampir keseluruhan komisioner KPK ke Bareskrimpolri dengan berbagai sangkaan kasus masa lalunya. Hal ini tentu akan membawa berbagai dampak yang luas ditengah masyarakat, terutama kepastian kelancaran tugas KPK dalam penegakkan hukum terhadap kasus kejahatan korupsi.
Dengan tersangkanya beberapa orang komisioner KPK banyak sedikit pasti berpengaruh terhadap intensitas pekerjaan besar di KPK dalam penanganan kasus korupsi yang kian menumpuk. Disatu sisi masyarakat tentunya tidak menginginkan lembaga KPK tersandera oleh kasus hukum personil komisionernya, terlepas nantinya mereka bersalah atau tidak, tetapi yang jelas KPK secara kelembagaan pasti akan berpengaruh terhadap kinerjanya. Seperti saat ini BW baru hanya mengundurkan diri secara sementara dari KPK, tentu dengan pengunduran diri ini otomatis komisioner KPK akan berkurang, sudah barang tentu mengganggu kelancaran tugas KPK.
Disatu sisi, untuk menunggu kepastian penetapan status hukum bagi pejabat negara yang terkena kasus hukum pastinya tidaklah sebentar, akan memerlukan proses yang panjang dan memakan waktu yang cukup lama.
Untuk mengatasi hal tersebut, kiranya perlu dipikirkan kembali format yang bermartabat dalam mencari solusi terbaik bagi penanganan banyaknya kasus hukum yang menjerat pejabat negara dan meminimalisir dampaknya terhadap kinerja lembaga yang mereka naungi. Salah satunya mungkin perlu diwacanakan dan dipikirkan kembali memasukkan asas forum privilegiatum dalam UUD 1945 atau melalui Perpu terhadap UU tentang Mahkamah Agung.
Berkaitan dengan wacana menghidupkan kembali asas forum privilegiatum dalam konstitusi, sebenarnya telah dirintis dan digaungkan oleh DPD RI pada periode yang lalu (2004-2009), yang telah melakukan serangkaian penelitian, pembahasan dan diskusi publik bahkan melakukan kerjasama dengan 99 perguruan tinggi ditanah air, para pakar, dan tokoh masyarakat lainnya, hasil kajian tersebut telah dinormakan dalam sebuah naskah usul perubahan kelima UUD 1945. Hasilnya DPD RI memperoleh 10 isu strategis yang menjadi pokok-pokok perubahan kelima UUD 1945, yang mana salah satunya adalah isu tentang forum privilegiatum yakni diperlukannya suatu kepastian hukum bagi seorang pejabat negara yang menghadapi proses peradilan, agar tidak 'tersandera' proses hukum yang berlarut-larut.
Forum privilegiatum
Konsepsi forum privilegiatum ini sebenarnya diadopsi dari konstitusi Belanda tahun 1814 yang terdapat dalam pasal 119. Dalam hal ini anggota dan mantan anggota parlemen , para Menteri , dan Sekretaris Negara dapat diadili di Mahkamah Agung untuk pelanggaran yang dilakukan saat di kantor . Aturan ini menyatakan bahwa orang-orang di atas peringkat tertentu harus memiliki forum privilegiatum dimana penuntutan dapat dimulai untuk pelanggaran jabatan pejabat berpangkat tinggi seperti halnya dengan kepala negara.
Dari segi definsi forum privilegiatum dapat dilihat sebagaimana dalam kamus Encyclopedia Americana ; A popular Dictionary of arts, sciences, literature, history, politics, and biography (Edward Wigglesworth,Thomas Gamaliel Bradford, halaman 188 ) “Forum privilegiatum is a tribunal under the jurisdiction of which any one comes on account of his personal or official character. The clergy, for example (in some countries), have a forum privilegiatum, as they do not come under the jurisdiction of common courts, but under that of a consistorium.”
Dalam Kamus Hukum (J.C.T. Simorangkir dkk, hal 62-63) Forum Privilegiatum disebutkan adalah hak khusus yang dimiliki oleh pejabat-pejabat tinggi untuk diadili oleh suatu pengadilan yang khusus/tinggi dan bukan oleh pengadilan negeri. Sedangkan Saldi Isra, 2013, mendefinisikan sebagai “Pemberhentian pejabat tinggi negara, termasuk presiden, melalui proses peradilan khusus (special legal proceedings). Pejabat yang dianggap melanggar hukum diberhentikan melalui mekanisme pengadilan yang dipercepat tanpa melalui proses dari tingkat bawah (konvensional)”.
Forum privilegiatum pernah diterapkan di Indonesia, di masa konstitusi Republik Indonesia Serikat tahun 1949 dan UUDS 1950, yakni berdasarkan pasal 148 Konstitusi Republik Indonesia Serikat 1949 dan pasal 106 UUD Sementara 1950, yang keduanya berbunyi “Presiden, Wakil Presiden, Menteri-Menteri, Ketua, Wakil Ketua dan anggota-anggota DPR, Ketua, Wakil Ketua dan anggota MA, Jaksa Agung, anggota-anggota majelis tinggi dan pejabat-pejabat lain yang ditunjuk dengan Undang-Undang diadili dalam tingkat pertama dan tertinggi juga oleh Mahkamah Agung, pun sesudah mereka berhenti.” Disini peran MA sebagai forum khusus tingkat pertama dan terakhir pemeriksaan tindak pidana yang dilakukan oleh pejabat Negara.
Dalam sejarah praktek ketatanegaraan, beberapa pejabat negara pernah mengalami forum privilegiatum ini, seperti Menteri Negara Sultan Hamid pernah dituntut oleh Jaksa Agung R. Soeprapto di MA dengan majelis hakim yang diketuai Ketua MA, Mr. Wirjono Prodjodikoro dalamforum privilegiatum dengan hukuman 10 tahun dari tuntutan 18 tahun potong masa tahanan. Menteri Kehakiman Djodi Gondokusumo, Menteri Luar Negeri Ruslan Abdulgani, Menteri Kemakmuran Mr. Isqak, Jenderal Nasution, Kemal Idris dan lainnya pernah diperiksa berkaitan perlakuan khusus ini semasa berlakunyaforum privilegiatumini (Miftakhul Huda, 2010).
Dari sisi perbandingan hukum, forum khusus untuk pejabat negara juga diterapkan di Prancis yang dalam Pasal 68 konstitusinya mengatur bahwa presiden dan para pejabat pemerintah yang melakukan pengkhianatan terhadap negara disidangkan pada tingkat pertama dan terakhir di Mahkamah Agung Prancis. Selain itu dalam konstitusi Thailand juga membentuk The Supreme Court’s Criminal Division for Person Holding Political Positions, yaitu divisi khusus di MA Thailand untuk memeriksa pejabat negara yang terlibat tindak pidana. Divisi khusus pidana di MA Thailand ini melengkapi fungsi National Counter Corruption Commission, Komisi Pemberantasan Korupsi ala Thailand yang eksistensinya juga dijamin dalam konstitusi, dan beberapa negara lainnya yang menerapkan forum khusus ini (Saifudien, 2009).
Penerapan forum privilegiatum kedepan
Untuk saat ini sebenarnya dalam sistem ketatanegaraan kita masih ada pejabat yang mendapatkan forum privilegiatum terbatas yakni bagi Presiden dan Wakil Presiden, sebagaimana tercantum dalam pasal 24C ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi “Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar.” Walaupun akhirnya keputusan MK ini bisa diterima atau dianulir kembali melalui keputusan politik lewat hasil keputusan MPR.
Pasal inipun sebenarnya menjadi perdebatan yang belum tuntas sampai saat ini, karena pasal ini dianggap bertentangan dengan azas the rule of law dan equality before the law yang menyatakan bahwa setiap orang bersamaan kedudukannya didepan hukum. Oleh Adnan Buyung Nasution dalam bukunya demokrasi konstitusional: pikiran dan gagasan, (hal; 179) mengatakan bahwa “kewenangan ini mestinya tidak hanya terbatas pada memeriksa perkara pidana terhadap Presiden dan Wakil Presiden, tetapi juga semua menteri dan pejabat tinggi negara setingkat menteri. Model pengadilan semacam forum privilegiatum ini meskipun mengandung unsur privilege, mekanisme tersebut semata-mata bukan untuk mengistimewakan para pejabat tinggi, tetapi justru dengan alasan mempertimbangkan urgensi penyelesaian kasus-kasus yang berdampak besar pada kehidupan berbangsa dan bernegara.”
Jikapun forum privilegiatumbelum bisa dimasukkan kedalam konstitusi melalui amandemen, untuk solusi jangka pendek forum privilegiatum dapat diberikan kepada Mahkamah Agung melalui Perpu yang kemudian menjadi UU. Dasar penambahan kewenangan kepada MA tersebut ialah Pasal 24A ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan “Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang terhadap undang-undang, dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh undang-undang.”
Sudah barang tentu, jikapun nanti ada wacana memasukkan forum privilegiatum dalam wacana amandemen kelima UUD 1945, azas ini akan tetap mendapatkan kritikan baik yang pro maupun kontra, karena forum privilegiatum juga tidak terlepas dari kelemahan, yakni bisa saja digunakan oleh pemegang kekuasaan untuk menjatuhkan orang yang dianggap tidak mendukungnya, dengan catatan jika lembaga MA nya lemah dan bisa ditembus oleh intervensi politik, tetapi jika MAnya kuat, tegas dan berwibawa, azas ini sepertinya memiliki peluang yang kecil untuk disalahgunakan dan bermanfaat bagi penyelematan efektifitas lembaga negara.
Dalam tragedi KPK saat ini, juga muncul dorongan yang kuat dari beberapa elemen anak bangsa untuk memberikan asaz imunitas bagi komisioner KPK, tentu hal ini juga akan menimbulkan polemik yang panjang, karena komisioner KPK bukanlah malaikat ataupun dewa yang tak luput dari godaan dan kesalahan, dan juga akan memantulkan wajah diskriminasi hukum terhadap warga negara, karena setiap warga negara bersamaan kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan, namun untuk menyelamatkan lembaga negara yang terganggu oleh kasus yang menimpa pejabatnya, maka salah satu solusi melalui forum privilegiatum mungkin bisa dikunyah kunyah kembali.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H