Selama satu dekade (10 tahun) terakhir ini, Indonesia patut bersyukur dapat mempunyai empat Menteri Keuangan yang berintegritas dan memiliki prestasi dan kinerja baik dalam mengelola perekonomian. Keempat orang itu adalah Sri Mulyani, Agus Martowardojo, Chatib Basri, dan Bambang PS Brodjonegoro. Mereka dihadapkan pada permasalahan ekonominya yang berbeda pada zamannya masing-masing dan bisa dikatakan berhasil mengatasinya.
Tulisan saya ini mencoba untuk sedikit menganalisa bagaimana prestasi keempat Menteri Keuangan tersebut di bidang penerimaan pajak. Pajak yang saya maksud di sini adalah pajak, bukan perpajakan (termasuk penerimaan bea dan cukai).
Tentu saja, prestasi penerimaan pajak tidak hanya tergantung pada sosok kepemimpinan seseorang, melainkan kulminasi dan resultan dari berbagai faktor, seperti pertumbuhan ekonomi nasional dan global, etos kerja jajaran Direktorat Jenderal Pajak, harga minyak, dan nilai tukar rupiah.
Meski tidak memasukkan seluruh faktor determinan tersebut, saya mencoba melihat secara sederhana berdasarkan fakta dan data pencapaian realisasi penerimaan pajak beserta pertumbuhannya secara nominal. (Lihat Tabel).
Saya mulai dari prestasi Sri Mulyani, yang menjabat sejak 7 Desember 2005 hingga 20 Mei 2010. Pada tahun pertama dan keduanya, Sri Mulyani mampu menumbuhkan penerimaan pajak sebesar Rp 59,7 triliun dan Rp 67,2 triliun. Baru pada tahun ketiga, Sri Mulyani mampu mencetak rekor pertumbuhan penerimaan pajak sebesar Rp 145,7 triliun pada 2008. Itu pun terbantu karena naiknya harga komoditas yang gila-gilaan sehingga membuat harga saham Bumi Resources misalnya ketika itu mencapai Rp 8.000/saham sebelum kembali nyungsep di bawah Rp 100/saham saat ini. Belum lagi adanya sunset policy yang dijalankan oleh Sri Mulyani ketika itu. Dampaknya, pada 2008 jugalah realisasi penerimaan pajak mencapai 100%, mengulangi tahun 2004 yang sempat tercapai 100% juga.
Prestasi Sri Mulyani pada tahun ketiga sepertinya terlihat ‘istimewa’ dan ‘prestasi luar biasa’, padahal sebetulnya Sri Mulyani memperoleh blessing in disguise (berkat), berupa kenaikan harga komoditas batubara, kelapa sawit, timah, nikel, dan lain-lain yang membuat konsumsi masyarakat melonjak. Pertumbuhan ekonomi pada zaman Sri Mulyani juga terlihat tinggi, yakni 6% hingga 6,3%, sehingga tanpa extra effort sekalipun, penerimaan pajak secara nominal otomatis akan tumbuh fantastis.
Hal lainnya adalah tidak banyaknya stimulus fiskal (pajak) yang dikeluarkan pada 2008 (dibandingkan seperti tahun 2015). Stimulus fiskal ada, tapi tidak banyak, sehingga penerimaan pajak sudah pasti tidak akan tergerus oleh pengeluaran untuk insentif pajak.
Baru pada 2009, krisis ekonomi global yang dipicu krisis Subprime Mortgages di Amerika Serikat yang berdampak pada resesi dunia, membuat penerimaan pajak di bawah kepemimpinan Sri Mulyani turun Rp 26,6 triliun dari pencapaian 2008. Itu dengan catatan ekonomi Indonesia ketika itu masih tumbuh 4,6%. Hal ini semakin membuktikan bahwa Sri Mulyani pun tidak memiliki daya juang (extra effort) untuk bisa mengoptimalkan dan menaikkan penerimaan pajak.
Berikutnya, prestasi penghimpunan pajak Menkeu Agus Martowardojo yang menjabat sejak 20 Mei 2010 hingga 19 April 2013. Di tahun pertamanya, sepanjang 2010, Agus Martowardojo mampu menaikkan penerimaan pajak secara nominal sebesar Rp 83,7 triliun. Tahun kedua kenaikannya mencapai Rp 114,5 triliun dan tahun ketiga malah turun menjadi Rp 93,1 triliun.
Prestasi Agus Martowardojo yang mampu menaikkan penerimaan pajak secara nominal pada tahun keduanya tetap ditopang pertumbuhan ekonomi yang fantastis, bahkan mencetak rekor tertinggi bagi Indonesia sejak 1997-2015, yakni tumbuh sebesar 6,5%. Jadi, kembali lagi, pencapaian tersebut tidak menunjukkan adanya ekstra effort, apalagi di zaman Agus Martowardojo, tidak ada pengeluaran berupa insentif pajak/fiskal yang justru berdampak mengurangi potensi penerimaan pajak.
Menteri Keuangan ketiga adalah Chatib Basri, yang menjabat sejak 21 Mei 2013 hingga 20 Oktober 2014. Di zaman Chatib, penerimaan pajak secara nominal tumbuh biasa-biasa saja, yakni masing-masing Rp 85,6 triliun dan Rp 63,7 triliun. Tidak ada upaya extra effort dari Chatib Basri guna menggenjot penerimaan pajak. Chatib Basri juga sadar dengan kondisi pertumbuhan ekonomi yang turun di zamannya dari 5,8% tahun 2013 menjadi 5,02%, penurunan yang tajam bila dibandingkan dengan prestasi ketiga Menkeu lainnya.