Lihat ke Halaman Asli

Nurdin Taher

TERVERIFIKASI

Keberagaman adalah sunnatullah, karena itu pandanglah setiap yang berbeda itu sebagai cermin kebesaran Ilahi. Surel : nurdin.en.te.70@gmail.com0

Jejak Perjalanan Seorang "Pejuang" (Sebuah Inmemoriam)

Diperbarui: 27 Januari 2021   11:46

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Alm. Malik Kadir Songge (sbr. fb alm.)

Pengantar

Saya membutuhkan waktu yang relatif cukup lama untuk mengumpulkan dan memulihkan memori dan sebagian kekuatan yang nyaris hilang untuk memulai menuliskan "kisah" ini. 

Mengingat ketika untuk pertama kali mendengar berita duka yang mengabarkan tentang kepergian keharibaan Ilahi Rabbi, Saudara, Kakak, Opuklake, teman, sahabat, rekan (seperjuangan), dan (pada batas tertentu, saya anggap sebagai), maaf, "kompetitor" (dalam tanda petik), alm. MALIK KADIR K.S., membuat saya berada pada sebuah situasi, "bagai runtuh bumi yang sedang dipijak." 

Sementara di saat yang bersamaan, atas berita itu, saya tidak memberikan reaksi dan respon  apapun, tertunduk lesu, terdiam dalam bisu, terutama berita duka di lini massa, media sosial (terutama WA, IG, dan FB).

Suasana pemakaman almarhum (dokpri)

Segera setelah itu, berbagai kerabat, handai toulan, rekan, sahabat, dan teman mengungkapkan seluruh ekspresi (yang mungkin dapat menggambarkan perasaan/hati mereka) dengan membanjiri lini massa, media sosial  untuk menyampaikan duka, belasungkawa, simpati, dan doa yang tulus atas kepergian almarhum.

Menjadi Pembina Pramuka di MTs Neg. Flores Timur (sbr. fb alm.)

Menghadapi kenyataan seperti itu, tak sedikit pun saya tergerak untuk turut pula mengekpresikan perasaan saya, baik itu melalui ungkapan bahasa verbal (duka, simpati, dan doa), maupun melalui simbol-simbol emosi lainnya (simbol emoticon). 

Bahwa saya tidak memberikan reaksi dan respon terhadap berita duka yang datang, terutama menanggapi berbagai ungkapan duka, simpati, dan doa tulus dari berbagai kalangan atas kepergian almarhum, meski hanya berupa gambar emoticon (khusus di media sosial), bukan berarti saya kehilangan perspektif keluarga. 

Justru pada kondisi itu, saya ingin mengatakan bahwa saya berada dalam sebuah kondisi, lebih dari apa yang mungkin dirasakan semua orang, kegamangan, bergulat sangat keras dengan bathin saya, dan terus bertanya, bahwa sungguh kenapa AJAL itu begitu cepat datang?

Semua ungkapan, pernyataan duka, belasungkawa, simpati, dan doa yang mengalir (seperti terungkap oleh berbagai kalangan (keluarga maupun lainnya)) di media sosial, tidak cukup menggerakkan bathin saya untuk turut melakukan hal yang sama. 

Bagi saya ekspresi duka, belasungkawa, simpati, dan doa yang disampaikan oleh berbagai kalangan tidak cukup mewakili dan menggambarkan apa yang sedang bergolak dalam bathin saya. Semua perasaan berkecamuk dan menyatu hingga saya tak mampu, meski hanya sekedar untuk menarasikan secara eksplisit apa sesungguhnya yang bergolak dalam nurani saya.

Almarhum bersama keluarga (sbr. fb alm.)

Bahwa pada faktanya almarhum telah tiada, tidak serta merta membuat "kesadaran religius" saya tersingkap, kemudian menerima kejadian AJAL itu sebagai TAQDIR, sebuah ketentuan yang TAK BOLEH DITOLAK. Mengapa demikian? Inilah cerita dan kisah kami selengkapnya!
Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline