Kemarin, Rabu (21/2/2018) sejatinya seseorang yang ditahbiskan sebagai "Imam Besar" (menurut versi pendukungnya), dijadwalkan akan tiba di Jakarta (Indonesia) setelah menjalankan ibadah umrah yang nyaris satu tahun lamanya. Kata umrah sengaja saya beri garis bawah untuk menjelaskan bahwa ibadah sunnah yang dijalankan Rizieq Shihab itu, tidak sebagaimana biasanya, yang bersifat limitatif seperti ibadah Haji. Meski ibadah sunnah itu dapat dilakukan setiap saat, setiap waktu, saban pekan, maupun saban bulan, sepanjang mempunyai kesempatan dan kemampuan. Tapi jika ibadah sunnah itu dilaksanakan hanya bertujuan untuk menghindarkan diri dari sebuah proses hukum, maka niat ibadah menjadi sebuah tanda tanya.
Teka-teki kepulangan Rizieq Shihab, yang dijadwalkan harus tiba di Bandara Soekarno-Hatta (Soetta) Rabu (21/2/2018) terjawab setelah dia sendiri memberikan konfirmasi melalui teleconfrence. Melalui sambungan langsung jarak jauh itu, Rizieq Shihab membeberkan alasan pembatalan kepulangannya.
Menurut Rizieq Shihab bahwa berdasarkan hasil "penerawangannya" melalui sholat istikhorah, dia belum mendapatkan bisyarah dan atau isyarah yang menguatkan niatnya memboyong semua keluarganya yang diajak pula "menghindarkan diri" dari proses hukum untuk pulang ke tanah air. Publik, dan terutama pendukungnya, dipaksa untuk menerima dan memaklumi alasan itu. Lagi-lagi alasan agama menjadi alibi untuk menjernihkan perasaan kecewa pendukungnya yang sudah terlanjur berjubel-ria menunggu di Bandara ingin menjemputnya.
Pendukungnya pun dengan takzim menyimak dan mendengarkan suara di balik teknologi buatan kafir itu. Seperti laiknya seorang panglima perang yang sedang memberikan perintah, suara di seberang sana terdengar seakan sedang memberikan orasi. Semua "hulubalang" pun terdiam membisu mendengarkan dan menyimak dengan takzim. Gerangan apa yang menyebabkan sang panglima tak jadi pulang?
Rupanya setelah hampir satu tahun Rizieq Shihab "bertapa", belum cukup bisyarah dan atau isyarah yang diperoleh (1), sehingga belum dapat menguatkan iman dan mentalnya, meski sudah ditunggu-tunggu, tapi tidak cukup memberi dia keberanian memutuskan untuk balik pulang. Padahal segala hal terkait penjemputan kepulangannya sudah dipersiapkan jauh hari secara matang dan disiarkan dengan heboh.
Para pendukung sudah menyebarkan undangan melalui media sosial untuk menghimbau semua umat Islam yang pernah berjubel-ria di Monumen Nasional (Monas) berunjuk kekuatan pada 2 Desember 2016 (yang mengilhami sebutan gerakan 212), agar hadir di Jakarta menjemput sang panglima pulang kandang. Meski tidak sebanyak yang hadir pada gerakan 212, para pendukung dengan semangat jihad hadir di Jakarta berkonsentrasi di Masjid Jami Baitul Amal untuk kemudian akan bergerak bersama ke bandara Soetta menjemput sang panglima. Akibatnya jalan menuju ke arah bandara menjadi macet, sehingga membuat para penumpang, termasuk salah seorang anggota DPR RI yang hendak bepergian ketinggalan pesawat.
Padahal polisi sudah mengumumkan bahwa berdasarkan manifes penumpang nama pentolan FPI itu tidak termasuk dalam daftar penumpang yang akan berangkat (terbang). Tapi memang dasar nalar sudah ketiban dengkul, segala apa yang disampaikan oleh pihak berwajib, meski berdasarkan bukti faktual, mereka tetap tidak percaya. Bahkan mereka tetap pada pendirian dan keyakinannya bahwa apa yang disampaikan pihak berwajib itu bohong. Jika kecurigaan sudah membongkah hingga menutupi nalar, kebenaran apapun yang disampaikan oleh pemerintah yang diwakili polisi tidak akan dipercaya. Soalnya semua pada rada terhinggap halusinasi akut yang sungguh membuat ironi.
Batalnya Rizieq Shihab pulang ke tanah air berbuntut panjang dan menyisakan persoalan di kalangan intern pendukungnya. Setidaknya ada tiga kelompok yang merasa paling berhak mewakili Rizieq Shihab. Ketiga kelompok itu mengidentifikasi diri dengan menggunakan simbol 212.
Kelompok pertama menyebut diri dengan sebutan Gerakan 212. Kelompok kedua memaklumatkan diri sebagai Presidium Alumni 212. Sedangkan kelompok ketiga menegaskan dirinya sebgai Persaudaraan Alumni 212. Dua dari ketiga kelompok tersebut masing-masing merasa paling berhak mewakili keluarga Rizieq Shihab.
Karena itu ketika asa mereka tidak kesampaian melihat kenyataan bahwa "panglima perang" mereka tidak jadi pulang, serta merta hal tersebut melahirkan pula dampak ikutan. Terjadi friksi di antara meraka (2). Di mana salah satu kelompok itu kemudian menyalahkan kelompok lainnya, bahkan menuntut supaya meminta maaf kepada umat Islam. Umat Islam yang mana? Mungkin yang dimaksud adalah pendukung yang kecewa yang sudah terlanjur datang ingin menjemput (3). Soalnya bagi umat Muslim yang masih waras, yang nalarnya masih berfungsi dan menggunakan secara baik, Rizieq Shihab pulang atau tidak pulang, tak ngaruuuuuuuuuuuuh.
Di samping alasan belum mendapat isyarah dan bisyarah, dengan enteng pula Rizieq Shihab, melemparkan tangan sembunyi batu, eee salah, "lempar batu sembunyi tangan". Untuk menutup rasa kecewa pendukungnya, dan guna memperkuat alibinya, Rizieq Shihab bahkan berburuk sangka dengan melempar isu berupa tudingan bahwa ada kelompok yang mempunyai rencana jahat terhadap kepulangannya (4). Mungkin karena sudah merasa dikultuskan sehingga sesuka udelnya melempar isu atas dasar prasangka dan asumsi murahan. Yang penting baginya adalah ia nyaman dan pendukungnya diam dan tidak lagi neko-neko mempertanyakan apa motif setiap kali menginformasikan berniat pulang, tapi tiba-tiba membatalkan dengan entengnya. Sementara pendukungnya sudah bergembira ria siap menyambut kepulangannya, bahkan bila perlu setelah tiba mengarak-araknya keliling seantero Jakarta.