Oleh : eN-Te
Tak disangka dan tak dinyana, sehari periode kepemimpinannya sebagai Gubernur DKI, 2017-2022, Anies Rasyid Baswedan (selanjutnya disebut Anies) langsung membuat 'gebrakan'. Gebrakan yang membuat publik terhenyak, berikut menimbulkan gaduh. Bukan berupa hasil karya yang menjadi ukuran sebuah kinerja, tapi lebih karena sedang mabuk memainkan isu primordial, berupa suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) dengan mengedepankan politik identitas.
Sebagaimana lazim dalam sebuah kontestasi politik, seseorang yang memenangkan kontestasi akan menyampaikan pidato kemenangan. Begitu pula halnya dengan pasangan Anies-Sandiaga. Selepas dilantik sebagai pasangan Gubernur dan Wakil Gubernur DKI terpilih periode 2017-2022 oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi), Anies maju menyampaikan pidato politik sebagai 'ikhtiar' yang akan dilakukan selama periode kepemimpinannya sebagai Gubernur DKI yang baru.
Sayangnya dalam pidato politik perdana itu bukannya sang Gubernur menjabarkan strategi teknis dan praktis yang harus dilakukan untuk menjalankan semua program kerja yang telah dicanangkan dan dikampanyekan agar dapat terealisasi untuk mensejahterakan rakyat yang telah dijanjikan. Tapi, sang Gubernur malah mengajak warga Jakarta untuk melakukan napak tilas bernostalgia mengenang kisah pilu masa penjajahan.
Sang Gubernur berusaha membangkitkan kesadaran kolektif warga Jakarta terhadap penderitaan yang dialami selama masa kolonialisme berlangsung. Penderitaan mana akibat pengklasifikasian warga negara atas dasar etnis. Dengan alasan konteks sejarah tersebut, maka sang Gubernur menyelipkan frasa dan diksi 'pribumi' dalam pidato politik perdana di hadapan warga Jakarta.
Sontak saja, frasa dan diksi pribumi itu langsung memantik polemik. Publik seakan diajak untuk bercermin, bahwa kondisi aktual hari ini setelah usai Pilkada DKI, kalau perlu dipelihara dan dipertahankan untuk tetap terpolarisasi. Menguatnya politik identitas untuk meraih elektabilitas elektoral serasa telah membuat sang Gubernur yang intelek ini lupa untuk sedikit menoleh melihat latar belakang dan rekam jejaknya. Bahwa seseorang yang berlatar belakang pendidikan doktor dari uniersitas terkenal di negeri Paman Sam (Harvard University), tidak serta merta akan membuat seseorang lebih 'arif' dalam bertutur dan berucap.
Maka tanpa mempertimbangkan etika politik, meluncur deras frasa pribumi dalam pidato politik sang Gubernur. Sang Gubernur berdalih ingin mengajak warga untuk menghilangkan sekat-sekat primordial dengan bernostalgia mengingat perlakuan para kaum kolonial yang diskriminatif menempatkan warga pribumi sebagai warga kelas 'paria' dalam konteks sosial. Alih-alih ingin menjadikannya sebagai spirit bertolak untuk menghilangkan sikap diskriminatif, tapi pilihan kata yang digunakan malah semakin memperkuat asumsi untuk mempertahankan politik identitas yang mengantarkannya meraih tampuk kekuasaan. Mungkin sang Gubernur berharap dengan sedikit berpaling ke konteks sejarah penjajahan, sehingga polarisasi yang sempat terjadi dan menguat pada masa Pilkada dapat berkurang, dan lambat laun akan hilang, kemudian semua elemen bangsa kembali bersatu untuk meraih asa bersama.
Ekspektasi itu seperti bertepuk sebelah tangan. Karena setelah 'pidato pribumi' itu, malah polarisasi yang ingin dihilangkan semakin menunjukkan sinyal menguat. Sekurang-kurangnya ada dua kelompok yang terbelah merespon 'pidato pribumi' ala Anies itu. Tentu saja dua kelompok itu mencerminkan kondisi awal, proses, dan akhir dari rangkaian kontestasi Pilkada DKI kemarin.
Satu kelompok merupakan simpatisan dan pendukung Anies. Kita sebut saja sebagai kelompok yang pro terhadap pernyataan pribumi ala Anies. Kelompok lain merupakan pihak yang bukan merupakan simpatisan dan juga bukan pendukung Anies. Kita sebut pula sebagai kelompok yang kontra terhadap 'pidato pribumi' itu.
Bagi simpatisan dan pendukung, apapun yang keluar dari mulut sang patron adalah sebuah 'titah' yang akan menjadi spirit berjuang. Titah mana yang harus diperhatikan dan harus menjadi panduan dalam mencoba merangkai benang-benang harapan menjadi sebuah tenun kebersamaan. Karena itu, bagi kelompok pro, tidak masalah pernyataan sang Gubernur itu keluar dari konteks kekinian melihat Jakarta hari ini.
Keberagaman yang elok di Jakarta tidak harus terusik hanya karena sebuah frasa yang dilingkupi oleh latar sejarah. Meski mereka sendiri menyadari bahwa ibarat menggantang asap, relevansi frasa dan diksi yang digunakan untuk menggambarkan kondisi keberagaman hari ini salah kaprah. Apalagi sudah ada ketentuan dan regulasi yang mengatur penggunaan istilah yang rawan memantik kegaduhan dan konflik itu.