Sepanjang bulan Juni hingga Oktober 2017 Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) secara beruntun melakukan Operasi Tangkap Tangan (OTT) terhadap pejabat pemerintah, penegak hukum (pengacara, hakim, panitera), politisi, dan juga pengusaha. Umumnya, sebagian besar dari mereka yang tertangkap tangan itu berkolaborasi satu dengan yang lain ingin berbuat kongkalikong untuk mendapatkan keuntungan.
Pejabat pemerintah yang tertangkap tangan diduga telah berkonsipirasi dengan rekanan (pengusaha), berniat jahat melakukan kongkalikong mendapatkan keuntungan finansial dari sebuah proyek. Pengusaha bertindak sebagai sinterclas memberikan uang pelicin agar proyek yang sedang diincarnya dapat masuk dalam garapannya. Target yang dibidik agar mau menerima uang pelicin itu adalah para pemegang kekuasaan yang mempunyai wewenang penuh menetapkan proyek dan pemenang tender. Dan yang punya otoritas itu adalah para penguasa pada suatu daerah teritorial tertentu.
Jika daerah teritorial itu mencakup suatu wilayah propinsi maka pejabat tersebut adalah gubernur. Bila berkaitan dengan urusan pemerintah setingkat kabupaten dan kota maka penguasa setempat itu adalah para bupati dan walikota. Jika dalam proses itu memerlukan perantara atau broker, maka biasanya yang bertindak memerankan broker itu adalah politisi (anggota legislatif (DPR)). Sementara bila dalam OTT itu ikut pula terciduk hakim, pengacara, dan atau panitera, maka hal itu berkaitan dengan peran mereka yang ingin membantu melepaskan para penguasa dan pengusaha dari jerat hukum yang sedang dalam proses peradilan.
Jadi rupanya kelompok yang sering menjadi target OTT KPK tersebut menganut prinsip simbiose mutualisme. Mereka bersepakat bekerjasama untuk melakukan sesuatu yang sepenuhnya disadari untuk saling menolong, sekaligus mempunyai dampak saling menguntungkan. Sayangnya, dalam banyak kasus OTT tersebut, kerjasama yang melibatkan kelompok entitas yang saling menguntungkan itu, lebih banyak berbau kejahatan. Kejahatan yang oleh negeri ini dikategorikan sebagai kejahatan yang luar biasa (extra ordinary crime), yakni tindak pidana korupsi (tipikor).
KPK sebenarnya tidak sedang melakukan show of superbody, melainkan menjalankan kewajiban konstitusionalnya memberantas korupsi hingga ke akar-akarnya agar negeri zamrud khatulistiwa ini dapat terbebas dari penyakit kronis itu. Akan tetapi, hari-hari ini publik menyaksikan bahwa kewajiban konstituisional KPK yang sungguh mulia itu, sedang digugat oleh institusi lain, terutama lembaga pembuat undang-undang (legislatif), yakni Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Entah karena banyak anggota DPR yang tertangkap tangan dan diproses pidana akibat terlibat kasus tipikor, sehingga DPR seakan merasa kegerahan. Gerah karena sepak terjang dan gerak langkah DPR (baca anggotanya) terus menerus dipantau,diawasi, sehingga sewaktu-waktu dapat terjerat kasus OTT KPK pula. Apalagi sang Ketua DPR, Setya Novanto juga pernah ditetapkan menjadi tersangka kasus korupsi, meski status itu kemudian dibatalkan oleh hakim praperadilan.
Maka tak heran bila ada sebagian anggota dan pimpinan DPR menginginkan KPK dibubarkan, minimal dibekukan. Berbagai cara ditempuh dan dilakukan untuk menggerus kewenangan KPK dalam memberantas korupsi di negeri ini. Mulai dari pembentukan opini tentang perlu segera melakukan revisi UU KPK sampai dengan penggunaan hak angket untuk menyelidiki KPK. Tak urung itikad DPR membentuk panitia khusus (Pansus) Hak Angket ditengarai bermuatan politik untuk mempreteli kewenangan KPK. Tak hanya digencet oleh DPR, Kejaksaan Agung juga merasa perlu bermanuver mempersoalkan hak penuntutan yang juga dimiliki KPK.
Di tengah tekanan DPR dan juga Kejaksaan Agung itu, KPK tak bergeming. Semangat untuk menjalankan tugas dan kewajiban konstitusional untuk memberantas korupsi tak pernah kendur. KPK tidak berhenti membuat gebrakan. Satu persatu pejabat pemerintah setingkat Bupati/Walikota digiring masuk tahanan. Ikut pula dalam gerbong itu para hakim, panitera, dan pengacara, serta politisi dipaksa harus mengenakan seragam oranye.
Kasus OTT terbaru dilakukan KPK pada Jumat (6/10/2017) malam. Di mana dalam OTT tersebut, KPK menangkap Ketua Pengadilan Tinggi Sulawesi Utara (Sulut) dan anggota DPR asal Sulut. Keduanya ditangkap di Jakarta sedang melakukan transaksi untuk saling bekerjasama melakukan kongkalikong atas prinsip simbiose mutualisme.
Sang politisi (anggota DPR) mencoba menyuap Ketua Pengadilan Tinggi agar mau membebaskan ibunya yang sedang dalam proses peradilan karena terjerat kasus korupsi (bakti anak). Sang Ketua Pengadilan yang juga penegak hukum malah tergiur iming-iming uang haram tanpa memikirkan resiko akan tertangkap penegak hukum lainnya (KPK). Begitu pula dengan beberapa orang lainnya yang ikut pula diamankan saat itu, diduga juga turut bermain.
Sebelumnya, KPK secara beruntun melakukan OTT terhadap beberapa pemimpin daerah setingkat Gubernur, Bupati, dan Walikota.